Fast Culture vs Deep Thinking

Seri Teknologi & Peradaban

Saat Scroll Lebih Menarik daripada Tadabbur

Tentang kita, bukan sekadar “generasi setelah kita”.

Ada satu kejujuran yang mungkin banyak dari kita rasakan, tapi jarang diucapkan: dulu, sebelum internet dan smartphone mendominasi, kita bisa duduk membaca buku berjam-jam. Buku yang tebal, bahasa yang berat, argumen yang berlapis-lapis. Sekarang? Rasanya satu artikel dua halaman saja sudah melelahkan. Buku-buku di rak lebih sering jadi pajangan, atau cuma dibuka sedikit ketika ada kebutuhan sesaat. Selebihnya, kita tenggelam dalam arus scroll yang tak berujung.

Fenomena ini bukan hanya milik “orang lain” atau “generasi setelah kita”. Ini juga gejala yang kita alami di dalam diri sendiri. Di sinilah istilah yang sering dipakai para pengamat media menjadi nyata: kita hidup di era fast culture, budaya serba cepat. Segalanya diringkas: berita, ilmu, ibrah, bahkan nasihat agama. Yang panjang dianggap tidak ramah, yang dalam dianggap tidak relevan. Kita percaya sedang “banyak belajar” karena setiap hari tersiram potongan-potongan konten, padahal boleh jadi yang kita kumpulkan baru sekadar serpihan permukaan.  

Tadabbur, Bukan Sekadar Membaca Cepat

“(Ini) adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah supaya mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang berakal dapat mengambil pelajaran.”

(QS. Shad: 29)

Kata kuncinya di sini adalah liyaddabbarû agar mereka mentadabburi, bukan sekadar membaca lalu berlalu. Tadabbur butuh waktu, butuh fokus, butuh kesiapan hati. Bukan gaya baca yang dikejar oleh notifikasi.

Perangkat dan platform yang kita gunakan setiap hari sesungguhnya didesain untuk tujuan yang berbeda. Mereka adalah bagian dari apa yang disebut attention economy ekonomi perhatian. Semakin lama dan semakin sering kita menatap layar, semakin besar keuntungan bagi pemilik platform. Maka dibuatlah konten-konten pendek, cepat, terus-menerus mengalir, dengan algoritma yang mempelajari kelemahan kita: apa yang membuat kita penasaran, tersinggung, tertawa, atau takut.  

Tanpa sadar, otak kita dilatih untuk selalu menunggu rangsangan berikutnya. Kita tidak lagi betah diam bersama satu gagasan. Kita ingin terus loncat: dari satu video ke video lain, dari satu isu ke isu lain, dari satu “insight” ke “insight” lain.

Fast Culture

  • Serba cepat, serba pendek.
  • Banyak tahu, sedikit mendalam.
  • Kuat scroll, lemah duduk lama.

Deep Thinking (Tadabbur)

  • Pelan tapi menyerap.
  • Mikir ulang, menimbang.
  • Membaca sampai tuntas.

Akibatnya, kemampuan untuk hidup dalam kedalaman pelan-pelan terkikis. Kita kuat membaca ratusan komentar, tapi berat membaca satu bab buku yang serius. Kita tahan menonton puluhan video pendek, tapi gelisah ketika harus membaca satu ayat bersama tafsirnya dengan tenang. Kita terbiasa menyusun pendapat dari potongan-potongan yang berserakan, bukan dari bangunan pemikiran yang runtut. Dalam jangka panjang, ini berbahaya bagi kualitas pemahaman agama, kualitas berpikir politik, bahkan bagi kemampuan kita memaknai hidup.

Teguran Bagi yang Tidak Merenung

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, niscaya mereka akan mendapatkan banyak pertentangan di dalamnya.”

(QS. An-Nisa: 82)

Teguran ini menunjukkan bahwa seorang mukmin seharusnya terbiasa memeriksa, memperhatikan, menimbang, bukan hanya mengutip dan berbagi. Kedalaman berpikir bukan barang mewah; ia bagian dari cara beriman yang sehat.

Islam sesungguhnya tidak anti kecepatan. Islam tidak memerintahkan kita kembali ke zaman tanpa teknologi. Masalahnya bukan pada adanya internet atau bacaan pendek, tetapi pada hilangnya keseimbangan dan arah. Fast culture mendorong kita untuk selalu cepat merespon, cepat berkomentar, cepat mengambil sikap, sebelum sempat mencerna dengan utuh. Padahal Rasulullah ﷺ justru memuji sikap pelan namun matang.

Waspada Terhadap Sikap Tergesa-gesa

“Ketergesa-gesaan itu dari setan.”

(HR. Tirmidzi)

Tentu bukan berarti setiap gerak cepat itu haram. Tapi sikap mental selalu terburu-buru tidak mau menelusuri, tidak mau memeriksa, tidak mau mendalami adalah celah yang mudah dimanfaatkan setan dan sistem yang hanya mengejar klik.

Para ulama besar pun memberi teladan betapa seriusnya mereka menjaga kedalaman. Imam al-Syafi’i, misalnya, dikenal sebagai sosok yang mengulang sebuah masalah berkali-kali, menghafal, kemudian merenunginya lagi dalam shalat malam. Ulama-ulama seperti Ibnul Qayyim dan al-Ghazali menulis ribuan halaman bukan karena mereka gemar bertele-tele, tetapi karena mereka mengejar pemahaman yang utuh, tidak puas dengan jawaban yang sepotong-sepotong. Mereka membaca ayat dan hadits berulang-ulang, menghubungkan dengan realitas, menimbang dengan kaidah, hingga lahirlah karya-karya yang memandu umat berabad-abad.

Imam Malik pernah menyatakan bahwa ilmu bukan diukur dari banyaknya riwayat, tetapi cahaya yang Allah letakkan di dalam hati.

Cahaya itu tidak turun kepada hati yang selalu melompat-lompat, enggan duduk tenang bersama ayat dan ilmu.

Kalau dibiarkan, generasi yang dibentuk hanya oleh fast culture akan tumbuh menjadi generasi yang reaktif tapi dangkal. Cepat marah, cepat ikut tren, cepat puas dengan slogan, tapi lemah dalam menyusun konsep dan peradaban. Mereka bisa sangat vokal di media sosial, tapi bingung ketika diminta menjelaskan ide secara runtut dan tenang. Di titik ini, bukan hanya ibadah personal yang terganggu, tetapi juga kemampuan umat untuk melahirkan pemikir, mujtahid, dan pemimpin yang mengerti realitas secara mendalam.

Maka, yang kita butuhkan hari ini bukan sekadar menyesalkan “anak muda yang malas baca”, tetapi mengakui bahwa kita semua sedang diseret oleh arus yang sama. Lalu, dari pengakuan itu, kita mulai membangun counter-culture kecil-kecilan dalam hidup kita sendiri. Misalnya, dengan sengaja menyediakan waktu tanpa layar untuk membaca buku serius. Menyetel mode hening ketika sedang tilawah dan tadabbur. Membiasakan diri menyelesaikan satu tulisan panjang sampai tuntas, meskipun terasa berat. Lebih baik membaca satu buku sampai selesai dalam sebulan, daripada seratus kutipan yang tercecer tanpa arah.

Ibn Sirin rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”

Di era algoritma, nasihat ini bisa kita perluas: jangan biarkan timeline dan rekomendasi otomatis menjadi “guru” utama kita.

Teknologi dan algoritma hari ini punya kekuatan membentuk cara kita berpikir, merasa, dan beragama. Kalau kita tidak sadar, kita akan ikut logika mereka: serba cepat, serba pendek, serba instan. Padahal, ajaran Islam justru menuntut ketekunan dan ketenangan: shalat yang tidak tergesa-gesa, dzikir yang tidak hanya di ujung jari tapi juga di relung hati, ilmu yang tidak hanya lewat di layar tapi menetap di akal dan mempengaruhi keputusan. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa Allah mencintai amal yang sedikit tapi kontinu. Kedalaman biasanya lahir dari kontinuitas yang sabar, bukan dari ledakan-ledakan semangat sesaat.

Langkah Kecil Melawan Fast Culture

  • Sediakan waktu harian 15–20 menit untuk membaca satu buku serius tanpa layar lain.
  • Matikan notifikasi ketika tilawah dan tadabbur satu halaman Al-Qur’an.
  • Biasakan menamatkan satu tulisan panjang sebelum berkomentar atau membagikannya.

Pertanyaannya, bukan lagi sekadar “apa yang sedang kita baca?”, tetapi “bagaimana cara kita membaca?” Apakah kita hanya mengumpulkan serpihan-serpihan informasi cepat untuk memuaskan rasa ingin tahu sesaat, atau kita sedang melatih diri untuk menjadi hamba yang mau duduk lama bersama ayat-ayat Allah? Apakah kita lebih betah berlama-lama dengan timeline daripada dengan mushaf dan buku-buku yang menantang akal kita untuk bertumbuh?

Mungkin sekarang saat yang tepat untuk jujur pada diri sendiri: kalau scroll lebih menarik daripada tadabbur, berarti ada yang perlu kita tata ulang dalam hati dan kebiasaan. Bukan untuk menyalahkan diri terus-menerus, tapi untuk pelan-pelan menarik kembali kendali. Fast culture boleh saja menguasai dunia, tapi jangan sampai ia menguasai seluruh cara kita menjadi hamba. Kedalaman berpikir adalah bagian dari kedewasaan iman. Dan kedalaman itu tidak tumbuh dari buru-buru, melainkan dari keberanian melawan arus sesaat demi pandangan yang jauh ke depan.

🤲 Dukung Kaffah Media Bantu jaga dakwah dan konten ideologis tetap berjalan.
📡 Ikuti Saluran Kaffah Media Semua artikel baru & catatan ideologis langsung ke perangkatmu. Tanpa tergantung algoritma.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak