Di banyak obrolan dengan anak muda hari ini, satu kata yang sering muncul adalah stoikisme. Ia terdengar keren, tenang, dewasa, dan rasional. Di tengah dunia yang bising, penuh cemas, penuh drama, stoikisme hadir seperti oase: ajakan untuk tidak baper, tidak reaktif, dan berdamai dengan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Tidak sedikit anak muda Muslim yang merasa, “Ini kayaknya selaras dengan ajaran sabar dalam Islam. Apa bedanya?”
Untuk memahami posisi stoikisme di hadapan Islam, kita tidak perlu masuk terlalu teknis. Cukup kita lihat ruhnya. Stoikisme mengajarkan kira-kira begini: hidup ini penuh hal yang di luar kendali kita ;cuaca, ekonomi, komentar orang, masa lalu, bahkan banyak hal di masa depan. Kalau kita habiskan energi untuk memikirkan itu semua, kita akan hancur oleh kecemasan. Maka yang penting adalah memusatkan perhatian pada apa yang bisa kita kontrol: sikap kita, respon kita, cara kita menafsirkan peristiwa. Dari sini lahir nasihat-nasihat yang populer: jangan bereaksi berlebihan terhadap hinaan orang, jangan berharap terlalu tinggi pada hal yang tidak pasti, terima kenyataan pahit dengan kepala dingin, dan fokus memperbaiki diri sendiri.
Tidak sulit bagi seorang Muslim untuk melihat sisi-sisi yang terasa akrab. Bukankah Islam juga mengajarkan agar kita menahan amarah, bersabar ketika tertimpa musibah, tidak menggantungkan hati pada makhluk, dan tidak larut dalam penilaian manusia? Bukankah Nabi mengajarkan agar seorang mukmin kuat di dalam, tidak mudah roboh hanya karena dunia tidak sesuai dengan keinginannya? Dari sisi ini, wajar kalau sebagian anak muda merasa stoikisme itu “dekat” dengan Islam, atau minimal “tidak bermasalah”.
Namun, justru di titik kedekatan semu inilah kita perlu lebih hati-hati. Sebab kesamaan di level nasihat praktis belum tentu berarti kesamaan di level akidah dan cara pandang terhadap hidup. Islam tidak hanya bicara “bagaimana bersikap”, tapi juga dari mana sikap itu bersumber, untuk siapa, dan menuju ke mana.
Stoikisme, pada dasarnya, membangun ketenangan batin di atas kebijaksanaan manusia. Ia mengajak kita menerima kenyataan karena memang demikianlah hukum alam bekerja. Ada yang menyebut takdir, ada yang menyebut “logos”, ada yang menyebut keteraturan alam semesta, tapi semua itu tidak berujung pada relasi hamba Tuhan sebagaimana dalam Islam. Ketenangan ala stoikisme adalah ketenangan yang lahir dari kemampuan rasional kita untuk berdamai dengan realitas, bukan dari kepasrahan seorang hamba kepada Rabb yang Maha Mengatur. Di sini kita mulai melihat perbedaan: seorang Muslim bukan hanya berkata “aku menerima karena begitulah dunia”, tetapi “aku menerima karena ini keputusan Allah yang Maha Bijaksana, dan di baliknya ada hikmah serta janji pahala.”
Di titik inilah sabar dan tawakkal seorang Muslim berada satu level di atas ketenangan stoik. Seorang stoik bisa menerima musibah dengan kepala dingin, tapi ia berhenti sampai di situ: ia tenang demi kejernihan pikir, demi kesehatan mental, atau demi kebajikan moral. Seorang Muslim menerima musibah dengan kesadaran bahwa setiap ujian adalah kesempatan mendekat kepada Allah, menghapus dosa, mengangkat derajat, dan ujungnya akan dibalas di akhirat. Ada dimensi pengabdian dan pahala yang tak dikenal oleh stoikisme.
Bahaya lain muncul ketika prinsip “fokus pada apa yang bisa kamu kontrol” diterapkan tanpa panduan wahyu. Di satu sisi, nasihat itu benar: kita memang tidak punya kuasa atas banyak hal, dan kalau semua mau dipegang, kita akan binasa oleh stres. Tetapi jika itu diambil mentah-mentah, ia bisa berubah menjadi pembenaran untuk bersikap pasif terhadap kezaliman. Sistem yang korup, kebijakan yang zalim, penguasa yang menindas, bisa dengan mudah dianggap sebagai “hal di luar kendali pribadi”, lalu disikapi hanya dengan latihan batin: menguatkan diri, memperluas hati, dan belajar tidak terganggu. Pada akhirnya, yang tertinggal adalah manusia-manusia tenang yang menerima struktur yang zalim tanpa perlawanan berarti.
Islam tidak seperti itu. Islam memang menyuruh kita ridha terhadap takdir yang menimpa pribadi kita ;sakit, kehilangan, kemiskinan, penolakan. Tapi di saat yang sama, Islam memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar, memerangi kezaliman, menegakkan keadilan, dan tidak diam ketika batas-batas Allah dilanggar. Seorang Muslim yang dizalimi bukan hanya diajarkan untuk “menguatkan hati dan menerima kenyataan”, melainkan juga dianjurkan untuk mencari keadilan dengan cara yang benar, mengoreksi penguasa, mengubah sistem jika memungkinkan, dan berjuang bersama kaum mukmin lain. Ia boleh tenang di dalam, tapi di luar ia tetap tajam terhadap kezaliman.
Di sini tampak jelas bahwa jika stoikisme dijadikan satu-satunya cara hidup, ia berpotensi meredam energi perlawanan terhadap ketidakadilan. Ia memproduksi individu-individu yang tabah, tapi mungkin terlalu tabah untuk protes. Islam justru ingin menghasilkan hamba-hamba yang sabar namun tidak kompromi pada kebatilan: dadanya lapang, tapi langkahnya tegas.
Ada sisi lain yang juga perlu dikritisi. Stoikisme mengajarkan agar kita tidak menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu yang bisa hilang: harta, pasangan, reputasi, bahkan tubuh yang sehat. Karena itu, seorang stoik idealnya bisa tenang meskipun kehilangan semua itu. Sekilas, ini sangat mirip dengan ajaran zuhud dalam Islam. Tetapi lagi-lagi, perbedaannya ada pada orientasi terdalam: zuhud dalam Islam bukan sekadar latihan mental untuk tidak terlalu terikat pada dunia, melainkan ekspresi dari keyakinan bahwa akhirat lebih baik dan lebih kekal. Seorang Muslim merelakan dunia karena ia mengharapkan ganti yang jauh lebih mulia di sisi Allah. Seorang stoik merelakan dunia demi kestabilan jiwa dan kebijaksanaan batinnya sendiri. Satu orientasi tertuju kepada Tuhan, yang lain kembali kepada manusia.
Karena itu, jika seorang Muslim mengambil stoikisme tanpa filter, ia berisiko terseret ke dalam cara beragama yang sangat “psikologis”: agama dipandang hanya sebagai alat menenangkan diri, bukan sebagai jalan penghambaan total kepada Sang Pencipta. Ayat, dzikir, doa, dan shalat hanya dinilai dari sejauh mana itu membuat hati “lebih calm”, bukan sejauh mana itu menambah ketundukan dan ketaatan. Pada titik ini, stoikisme yang semula hanya alat bisa bergeser menjadi standar: ajaran agama yang dirasa “tidak menenangkan” atau “terlalu keras” mulai ditinggalkan karena dianggap tidak sejalan dengan ideal ketenangan stoik.
Lalu bagaimana seharusnya seorang Muslim bersikap? Menolak stoikisme mentah-mentah mungkin membuat kita menutup diri dari peluang dialog. Tetapi menelannya bulat-bulat juga berbahaya. Sikap yang paling aman dan adil adalah ini: jadikan stoikisme sekadar cermin untuk melihat kembali kekayaan ajaran Islam tentang sabar, tawakkal, ridha, dan pengendalian diri. Ketika stoikisme mengingatkan kita untuk tidak terlalu larut dalam komentar orang, kita ingat bahwa Rasul pun mengajarkan agar seorang mukmin tidak menjadikan ridha manusia sebagai tujuan utama, tetapi ridha Allah. Ketika stoikisme mengajak kita menerima hal yang di luar kontrol, kita tegaskan bahwa penerimaan kita bukan karena “begitulah hidup”, tapi karena “begitulah keputusan Dzat yang lebih sayang kepada kita daripada diri sendiri”.
Dengan cara ini, stoikisme tidak menjadi guru, hanya menjadi pemicu refleksi. Guru sejati tetaplah wahyu. Yang kita bangun bukan sekadar kemampuan untuk “tetap cool dalam segala keadaan”, tetapi hati yang tenang karena mengenal Rabbnya, akal yang jernih karena tunduk kepada kebenaran, dan jiwa yang teguh yang siap melihat ketidakadilan, merasakan pedihnya, tetapi tetap memilih jalan perjuangan yang diridhai. Anak muda yang senang stoikisme pada dasarnya sedang berteriak: “Saya butuh cara untuk tetap waras di dunia yang gila.” Islam menjawab teriakan itu dengan lebih lengkap: bukan hanya resep waras, tetapi arah hidup, tujuan akhir, dan janji keadilan yang melampaui dunia.
Pada akhirnya, seorang Muslim boleh belajar teknik mengelola emosi dari mana pun. Tapi ia harus ingat bahwa ketenangan paling dalam tidak datang dari latihan mental yang canggih, melainkan dari hubungan yang kuat dengan Allah. Stoikisme mungkin bisa membuat seseorang tampak tenang. Islam memanggilnya untuk lebih dari itu: tenang, taat, dan berani membayar harga untuk kebenaran.
🧩 Ringkasnya: Stoikisme vs Islam
- Stoikisme mengajak tenang: fokus pada yang bisa kamu kontrol, terima sisanya.
- Terasa mirip Islam (sabar, nahan emosi), tapi beda akar:
Stoikisme: “begitulah hidup”; Islam: “ini keputusan Allah, ada pahala & hisab”. - Kalau diambil mentah-mentah, Stoikisme bisa bikin pasif terhadap kezaliman dan agama turun pangkat jadi sekadar terapi.
- Sikap Muslim: boleh ambil teknik tenangnya, tapi pondasi & arahnya tetap harus dari wahyu.
Stoikisme bisa membuat kita tampak tenang. Islam memanggil kita untuk lebih dari itu: tenang, taat, dan berani

mantap.. barakallah ust
BalasHapus