Catatan atas klaim BBM nabati Bobibos dari jerami berkadar RON 98

Catatan Redaksi

Redaksi KaffahMedia · Catatan atas klaim BBM nabati Bobibos dari jerami berkadar RON 98.


Ringkasan Isu Bobibos Bobibos diklaim sebagai BBM nabati RON 98 yang sepenuhnya dibuat dari jerami, limbah pertanian yang selama ini sering dianggap tak bernilai. Pendiri Bobibos menyebut jerami diolah melalui beberapa tahap bioenergi dan rekayasa biokimia hingga menjadi bahan bakar nabati berkinerja tinggi untuk mesin bensin maupun diesel. Produk ini digadang-gadang lebih ramah lingkungan, beremisi rendah, serta berpotensi menambah nilai ekonomi bagi petani. Meski demikian, hingga kini Bobibos belum mendapatkan sertifikasi resmi dan belum boleh dijual bebas, karena masih berada pada tahap uji laboratorium dan kajian lebih lanjut oleh pemerintah serta lembaga terkait.
Sumber utama: detikOto, detikKalimantan, dan laporan terkait.

Kabar tentang Bobibos yang diklaim mampu menyulap jerami menjadi BBM beroktan tinggi RON 98 langsung menyita perhatian publik. Narasi yang diangkat terasa sangat menjanjikan: limbah pertanian yang selama ini sering dibakar dan mencemari udara, kini disebut bisa diubah menjadi bahan bakar “hijau” yang efisien, beremisi rendah, dan bahkan mampu menambah penghasilan petani. Di tengah mahalnya BBM dan kekhawatiran krisis energi, wajar jika banyak yang tergoda untuk segera percaya.

Namun sebagai media yang berupaya memandang realitas dengan kacamata Islam, kami perlu mengingatkan bahwa setiap klaim ilmiah dan teknologi harus diletakkan dalam bingkai amanah dan tabayyun. Dalam penjelasan resmi, Bobibos mengaku mengolah jerami melalui beberapa tahap biochemistry dengan mesin yang mereka rancang sendiri, hingga menghasilkan bahan bakar nabati RON 98 yang diklaim irit dan rendah emisi. Kendati demikian, produk ini masih berada di tahap uji laboratorium dan belum memperoleh sertifikasi laik edar. Pihak Kementerian ESDM menegaskan, pengujian satu jenis BBM hingga dinyatakan layak dipasarkan minimal membutuhkan waktu berbulan-bulan dengan rangkaian uji ketat, bukan sekadar satu-dua kali uji coba lapangan.

Di sinilah pentingnya sikap tengah antara optimisme dan kewaspadaan. Islam tidak menolak inovasi energi terbarukan. Selama bahan dan prosesnya tidak bertentangan dengan syariah, pemanfaatan limbah pertanian sebagai energi alternatif bisa menjadi bagian dari ikhtiar mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Akan tetapi, Islam juga melarang ghurur (tertipu oleh fatamorgana), melarang dusta atas nama ilmu, dan melarang melakukan eksperimen yang berpotensi membahayakan jiwa dan harta umat tanpa standar keamanan yang jelas. Rasulullah ﷺ bersabda: “Lā ḍarar wa lā ḍirār” – tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.

Karena itu, klaim-klaim spektakuler seputar Bobibos—mulai dari angka RON 98,1, emisi yang disebut nyaris nol, hingga janji harga yang lebih murah dari BBM fosil—wajib dibuka untuk diuji, dikritisi, dan diverifikasi secara independen. Transparansi komposisi, metode produksi, hasil uji emisi, dampak terhadap mesin dalam jangka panjang, hingga pengaruhnya terhadap ekosistem pertanian harus disampaikan secara jujur. Publik berhak tahu apakah pemanfaatan jerami dalam skala besar tidak akan mengganggu siklus organik tanah dan kualitas lahan, atau sekadar memindahkan masalah lingkungan dari satu titik ke titik yang lain.

Selain aspek teknis, dimensi keadilan bagi petani dan umat juga krusial. Narasi bahwa petani akan mendapat tambahan penghasilan dari penjualan jerami harus dikritisi secara realistis: bagaimana skema harga, siapa yang menguasai rantai pasok, dan sejauh mana negara menjamin agar limbah pertanian ini tidak berubah menjadi komoditas baru yang dikuasai segelintir pemilik modal. Dalam pandangan Islam, sumber energi yang menyangkut hajat hidup orang banyak termasuk dalam milkiyyah 'ammah (kepemilikan umum) yang seharusnya dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat, bukan semata-mata dijadikan ladang profit.

KaffahMedia memandang, umat perlu menyikapi fenomena Bobibos dengan kacamata kritis, adil, dan bertumpu pada syariah. Apresiasi terhadap ikhtiar anak bangsa sah-sah saja, selama tidak berubah menjadi pembenaran atas klaim yang belum teruji. Kita tidak boleh anti inovasi, tetapi juga tidak layak menjadi pasar empuk bagi setiap produk yang dikemas dengan jargon “ramah lingkungan”, “nasionalis”, dan “berbasis nabati” tanpa data ilmiah yang terbuka.

Pada akhirnya, persoalan energi tidak bisa diselesaikan hanya dengan lahirnya satu produk baru, betapapun menarik klaimnya. Selama sistem ekonomi yang melingkupi pengelolaan energi masih tunduk pada logika kapitalisme— yang menjadikan keuntungan dan efisiensi di atas kemaslahatan umat—maka potensi komersialisasi tetap besar. Islam menawarkan paradigma lain: energi dikelola negara sebagai amanah, aksesnya dijamin bagi seluruh rakyat, dan inovasi diarahkan untuk mewujudkan kemandirian dan keberlanjutan yang haqiqi, bukan sekadar menambah satu merek baru di pasar BBM.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak