Sumatera menangis. Banjir besar melanda tiga provinsi di pulau tersebut: Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Diperkirakan korban meninggal sudah mencapai lebih dari 600 jiwa. Ratusan korban lainnya masih dalam pencarian. Banjir juga menenggelamkan sejumlah desa serta menghancurkan kawasan pemukiman dan berbagai infrastruktur di tiga provinsi tersebut.
Iklim Ekstrem dan Perusakan Alam
Banjir besar ini memang disebabkan oleh hujan ekstrem. Pemicunya adalah siklon tropis Senyar dan Koto yang terjadi di Selat Malaka. Akibatnya, sejumlah kawasan terdampak curah hujan yang sangat tinggi. Menurut BMKG, siklon ini berlangsung pada tanggal 26 November selama 48 jam. BMKG menyebut kemunculan dua siklon tersebut sebagai kejadian “pertama dalam sejarah”. Ia tumbuh di Selat Malaka. Wilayah ini sebelumnya diyakini mustahil menjadi lokasi pembentukan siklon karena terlalu dekat garis ekuator.
Akan tetapi, curah hujan ekstrem ini berubah menjadi bencana banjir. Pasalnya, di kawasan tersebut jutaan area hutan—sebagai penahan curah hujan—sudah hilang. Banyak pihak menduga deforestasi alias pembabatan/pembalakan hutan yang masif menjadi penyebab utama bencana di tiga provinsi tersebut.
Berdasarkan data WALHI, selama periode 2016-2025, deforestasi di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat mencapai 1,4 juta hektar. Selain itu, banyak izin usaha diberikan oleh Pemerintah untuk kegiatan pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Pegunungan Bukit Barisan. Di antaranya sektor pertambangan, perkebunan sawit dan proyek energi. WALHI mencatat ada lebih dari 600 perusahaan di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat yang kegiatan eksploitasi SDA-nya memperparah kerapuhan infrastruktur ekologis.
Penebangan liar atau illegal logging di hutan-hutan Sumatera secara besar-besaran juga dicurigai menjadi penyebab deforestasi. Hanyutnya ribuan batang pohon yang terbawa banjir menjadi bukti kuat aksi pembalakan liar berjalan di kawasan Sumatera.
Mitigasi Bencana
Indonesia adalah negara yang memiliki curah hujan tinggi dan terletak di cincin bencana (ring of fire). Di sini ada rangkaian gunung berapi sepanjang 40.000 km dan situs aktif seismik yang membentang di Samudra Pasifik. Artinya, negeri ini mestinya sudah memiliki kemampuan mitigasi yang memadai. Tentu demi melindungi rakyatnya. Termasuk membekali penduduk dengan kemampuan untuk menghadapi bencana.
Sayangnya, musibah banjir yang menimpa Sumatera memperlihatkan ketidaksiapan negara dalam mitigasi bencana. Padahal delapan hari sebelum bencana, BMKG sudah melaporkan bahwa akan terjadi hujan ekstrem dengan curah tinggi.
Saat bencana terjadi, tampak negara tidak berdaya melakukan mitigasi. Bahkan sampai hari ini kejadian bencana di tiga provinsi di Sumatera masih tidak dinyatakan sebagai bencana nasional. Apalagi pada awal kejadian bencana, pihak BNPB menyatakan tragedi banjir itu hanya mencekam di medsos.
Sampai tulisan ini dibuat masih banyak daerah terisolir. Masih banyak mayat bergeletakan atau terkubur lumpur, longsoran, bangunan dan gelondongan kayu. Karena kelaparan, sebagian warga terpaksa menjarah toko. Tim Basarnas mengungkapkan bahwa tim SAR gabungan yang telah bertugas selama tujuh hari nonstop dalam operasi tanggap darurat mulai mengalami kondisi kelelahan ekstrem.
Sabar dan Muhâsabah
Sebagai kaum Muslim, hati dan pikiran kita harus mengikuti tuntunan Islam dalam menyikapi musibah. Kita wajib meyakini bahwa semua musibah merupakan ketetapan Allah SWT. Demikian sebagaimana firman-Nya:
Allah SWT memerintahkan setiap Muslim untuk bersabar dalam menghadapi setiap musibah dan memasrahkan semuanya kepada-Nya. Demikian sebagaimana firman-Nya:
Tidak hanya bersabar, Islam juga meminta umatnya untuk senantiasa melakukan muhâsabah kala ditimpa musibah. Sebabnya, ada musibah yang datang sebagai akibat dari tindakan mungkar manusia. Allah SWT berfirman:
Bencana banjir yang melanda Sumatera datang sebagai akibat dari kebijakan yang merusak lingkungan, yakni deforestasi secara besar-besaran. Data GFW (Global Forest Watch) mengungkap sebanyak 10,5 juta hektare hutan di Indonesia hilang sepanjang 2002-2023. Padahal hutan primer tropis merupakan ekosistem paling kaya, stabil dan bermanfaat untuk menahan curah hujan. Akan tetapi, kini area seluas itu paling terdampak akibat praktik ekspansi lahan serta tekanan aktivitas manusia.
Hancurnya hutan di tanah air disebabkan oleh kebijakan negara yang menyimpang dari tuntunan syariah Islam. Negara mengobral banyak kawasan tersebut kepada swasta baik untuk pertambangan, penebangan dan pembukaan lahan perkebunan sawit. Dalam kasus banjir di Sumatera Utara, WALHI Sumatera Utara menyebut tujuh perusahaan berkontribusi pada bencana ekologis yang melanda kawasan Tapanuli, termasuk banjir dan longsor.
Negara juga lemah dalam mengawasi kegiatan penambangan ilegal dan pembalakan liar. KPK menemukan tambang ilegal dan penebangan liar itu bukan saja dilakukan oleh swasta, tetapi juga dimiliki atau dibekingi oleh oknum aparat ataupun pejabat. KPK juga menemukan hubungan tambang ilegal dengan aliran dana Pemilu.
Maka dari itu, bencana yang hari ini menimpa penduduk Sumatera bukan semata karena fenomena alam, tetapi merupakan buah kebijakan kapitalistik yang keji. Keputusan yang diambil hanya semata-mata demi keuntungan sembari mengabaikan dampak kerusakan alam dan bencana yang menimpa masyarakat. Inilah kemungkaran besar yang menciptakan kezaliman kepada rakyat.
Penutup
Jelas, bencana besar kali ini seharusnya mendorong penguasa negeri ini untuk mengevaluasi seluruh kebijakan kapitalistiknya yang terbukti merugikan rakyat banyak. Bangsa ini sudah seharusnya mendesak penguasa agar meninggalkan segala kebijakan kapitalistik dan beralih pada kebijakan yang sesuai dengan tuntunan syariah Islam. Karena itu upaya penerapan syariah Islam oleh negara secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan adalah sebuah keniscayaan. Inilah yang juga dulu dipraktikkan sepanjang era Kekhilafahan Islam selama berabad-abad lamanya.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.
Hikmah
Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab ra. berkata:
لَوْ مَاتَ جَمَلٌ فِي عَمَلِي ضِيَاعًا، خَشِيتُ أَنْ يَسْأَلَنِي اللهُ تَبَارَكَ وَتَع
“Seandainya ada seekor unta mati di wilayah tugasku karena terlantar, aku khawatir Allah Yang Mahasuci dan Mahatinggi akan menanyai aku tentang hal itu.” (Ibnu Hajar, Al-Mathaalib al-‘Aaliyyah, 15/700, Maktabah Syamilah).
