Redaksi KaffahMedia · Catatan atas kebijakan ekonomi desa dan program Kopdes Merah Putih.
Pemerintah kembali meluncurkan program raksasa untuk desa: membangun puluhan ribu Kopdes Merah Putih lengkap dengan gudang, gerai, dan kendaraan pengangkut hasil bumi. Angkanya fantastis, targetnya ambisius. Bagi banyak orang, ini terdengar sebagai kabar baik bagi petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil di desa yang selama ini terjepit tengkulak dan rantai distribusi yang tidak adil.
Namun, umat tidak boleh hanya terpukau pada gedung dan truk baru. Pertanyaan yang jauh lebih penting: siapa yang sungguh diuntungkan? Apakah koperasi ini benar-benar akan dikelola secara amanah dan profesional oleh warga desa sendiri, atau justru berakhir seperti banyak program “berbasis desa” sebelumnya: bangunan berdiri, papan nama terpasang, tetapi aktivitas ekonomi sepi dan tidak berkelanjutan.
Nilai proyek yang sangat besar juga mengundang kekhawatiran akan inefisiensi, pemborosan, bahkan korupsi. Umat berhak bertanya: dari mana sumber dananya, bagaimana skema pembiayaan dan pengembaliannya, siapa saja pihak swasta yang terlibat, dan seberapa besar beban akhirnya jatuh ke rakyat baik melalui pajak maupun utang negara. Transparansi dan akuntabilitas bukan bonus, tetapi syarat minimal jika benar program ini digagas untuk kemaslahatan.
Menguatkan ekonomi desa tentu sebuah keharusan. Islam memuliakan sektor riil dan mendorong distribusi kepemilikan yang adil, sehingga petani dan pelaku usaha kecil tidak terus-menerus berada di posisi lemah. Tetapi penguatan itu seharusnya bertumpu pada sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat, bukan sekadar proyek fisik bernilai triliunan yang lebih menguntungkan segelintir kontraktor dan mitra korporasi.
Tanpa koreksi sistemik dari tata niaga hasil bumi, akses permodalan yang adil, hingga pengelolaan aset publik yang amanah Kopdes berisiko menjadi etalase baru dari wajah lama ekonomi kapitalistik di desa. Bangunan boleh baru, tetapi logika eksploitasi bisa saja tetap sama.
KaffahMedia memandang, umat perlu bersikap kritis: mendukung setiap ikhtiar yang benar-benar menyejahterakan rakyat kecil, sekaligus waspada terhadap proyek mercusuar yang minim keberpihakan dan lemah pengawasan. Harapan sejati bukan terletak pada gedung megah dan seremoni peresmian, tetapi pada tata kelola yang amanah dan sistem ekonomi yang menempatkan kemaslahatan umat di atas kepentingan politik jangka pendek.
