Ketika Ekonomi Rumah Tangga Ditentukan Meja Perundingan Dunia

Sebuah narasi geopolitik-ekonomi yang mengurai bagaimana harga di pasar lokal ditentukan tarik-menarik kekuatan global dan bagaimana perspektif syariah mencoba memutus rantai kerentanan tersebut.

Pembuka

Inflasi, deflasi, dan stagflasi bukan lagi sekadar fluktuasi harga di grafik; hari ini mereka membaca peta kekuasaan global. Ketika negara-negara besar memperebutkan sumber energi, mengalihkan jalur perdagangan, atau mendesain ulang infrastruktur keuangan internasional, getarannya langsung merambat ke dapur-dapur rumah tangga dan kadang tidak lewat pintu depan, melainkan lewat tembok belakang yang tak tampak. Kebijakan produksi OPEC+, sanksi terhadap negara eksportir energi, atau keputusan blok besar untuk mengurangi ketergantungan pada satu pemasok dapat menaikkan biaya bahan bakar, mengerek biaya transportasi, dan pada akhirnya mendorong harga pangan. Itu bukan hipotesis; itu pola berulang sejak krisis energi 2022.

Intinya: Harga beras, telur, atau gas rumah tangga sering kali bukan hasil permainan pasar lokal melainkan efek domino dari perang energi, embargo, dan pertarungan tarif di luar negeri.

BRICS dan Dedolarisasi: Redistribusi Kekuasaan, Bukan Revolusi Sistem

Perang geopolitik ekonomi juga terjadi di ranah uang. BRICS yang melebar dan inisiatif perdagangan bilateral dengan mata uang nasional bukan sekadar simbolisme diplomatik; ini strategi nyata untuk mengurangi ketergantungan pada dolar sebagai penentu harga komoditas dan pembayaran lintas batas. Ekspansi BRICS memperkenalkan platform pembayaran alternatif yang menempatkan yuan, rupee, dan mata uang regional lainnya di arena transaksi internasional. Dalam praktiknya, ini mengubah peta risiko kurs, eksposur utang, dan menggoyang asumsi lama bahwa inflasi domestik cukup dikendalikan dari dalam negeri melalui kebijakan moneter.

“Dedolarisasi bukan wacana, ini strategi bertahan hidup negara-negara yang ingin keluar dari bayang-bayang hegemoni finansial”

Perluasan BRICS dan perdagangan lintas batas dengan mata uang nasional sering dirayakan sebagai “anti-hegemoni”, tapi sesungguhnya ia bukan usaha meruntuhkan kapitalisme, melainkan mendistribusikan ulang pusat kekuasaan kapital. Negara-negara BRICS , China, India, Rusia, Brasil tidak sedang membangun tatanan ekonomi alternatif; mereka sedang menegosiasikan posisi tawar dalam tatanan lama yang sama: ekonomi berbasis fiat, kredit, dan komodifikasi sumber daya.

Dedolarisasi, dalam kerangka ini, bukan solusi struktural terhadap ketidakadilan ekonomi, melainkan strategi geopolitik untuk memindahkan pusat gravitasi dari Washington ke Beijing dan Moskow. Ketika komoditas diperdagangkan dalam yuan atau rubel, rantai ketergantungan tidak hilang ia hanya berpindah tangan. Risiko volatilitas nilai tukar, eksposur utang, dan ketimpangan pembayaran tetap hadir, hanya dengan aktor baru dan kalkulus baru.

Karena itu, multipolaritas finansial yang ditawarkan BRICS tidak otomatis menghasilkan keadilan, apalagi kedaulatan ekonomi. Ia hanya menjanjikan kompetisi antar-korporasi negara yang berskala lebih luas, dengan biaya sosial yang tetap dibebankan ke masyarakat, bukan elite finansial.

“Dunia multipolar tidak lebih adil bila logikanya tetap sama: utang, bunga, dan eksploitasi sumber daya untuk akumulasi kapital.”

Geopolitik Teknologi: Kapitalisme Versi Baru

Di medan lain, perlombaan AI dan perebutan mineral kritis (chip, GPU, rare earths) membuka front geopolitik baru. Negara dengan akses komputasi tinggi punya leverage ekonomi dan militer. Pembatasan ekspor teknologi, reshoring industri, hingga perang chip global menciptakan tekanan biaya produksi dan inflasi input pada sektor teknologi. Perlombaan AI bukan sekadar adu algoritma; ini pertarungan infrastruktur, data, dan kontrol pasar.

Stagflasi sebagai Output Struktural, Bukan Kegagalan Teknis

Dalam kapitalisme: guncangan energi + kredit murah + rantai pasok yang tergantung satu kutub = kondisi ideal menuju stagflasi ketika harga melambung sementara pertumbuhan mandek.

Siklus kapitalisme makin rumit ketika geopolitik ikut menentukan fase ekspansi dan kontraksi. Periode kredit mudah bisa terhenti tiba-tiba karena sanksi internasional. Ketika pemangkasan suplai energi bertemu dengan kebijakan moneter yang mencoba menahan resesi melalui pencetakan likuiditas, hasilnya jelas: inflasi tinggi dengan pertumbuhan rendah. Inggris, Uni Eropa, dan banyak negara berkembang merasakan kondisi ini pasca-2022.

Contoh lapangan mudah ditemukan: pasokan gas Eropa turun, harga energi melonjak; produsen pupuk menaikkan harga; petani menanggung biaya; harga beras dan gandum ikut naik. Ketika negara merespons dengan menaikkan suku bunga, beban utang meningkat dan investasi melemah kombinasi sempurna menuju stagflasi.

Perspektif syariah

Dari kacamata syariah sebagaimana digariskan Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, problem inflasi global sebenarnya bukan sekadar gangguan teknis, melainkan konsekuensi logis dari aqidah ekonomi kapitalisme. Kapitalisme memandang harta sebagai komoditas bebas yang boleh dieksploitasi, ditimbun, dan diputar untuk keuntungan tanpa batas, even jika hasilnya membuat kebutuhan pokok manusia tergantung pada harga minyak yang digeser OPEC, bunga The Fed yang naik setengah persen, atau spekulasi gandum di Chicago Mercantile Exchange.

An-Nabhani menjelaskan bahwa selama energi, pangan, mineral, dan infrastruktur vital diperlakukan sebagai komoditas privat, maka harga selalu rentan terhadap tiga hal:

  • riba,
  • spekulasi,
  • dominasi geopolitik negara besar.

Begitu salah satu dari tiga ini bergerak, inflasi menjadi keniscayaan. Kapitalisme secara built-in menciptakan siklus: ekspansi kredit → bubble → krisis → bailout → ekspansi lagi. Siklus ini bukan kecelakaan, tapi sifat sistem.

Syariah memutus lingkaran itu dari hulu. An-Nabhani menegaskan bahwa sumber-sumber strategis seperti energi, air, tanah umum, logam berat, dan sektor vital semacam listrik adalah milkiyah ‘ammah, kepemilikan umum. Artinya:

  • tidak boleh diprivatisasi,
  • tidak boleh jadi komoditas pasar bebas,
  • dan tidak boleh menjadi leverage geopolitik negara atau korporasi.

Negara wajib mengelola dan mendistribusikannya secara adil sebagai hak rakyat, bukan sumber pemasukan investor global.

Dengan melarang riba, syariah langsung mematikan mesin inflasi paling besar: penciptaan uang berbasis utang (debt-based money). Tanpa riba, bank tidak bisa menciptakan uang fiktif yang kemudian berputar di sektor finansial tanpa menyentuh sektor riil. Inilah yang membuat ekonomi Islam secara struktural stabil, karena uang hanya muncul dari aktivitas riil, bukan dari instrumen kredit yang bertingkat.

Syariah juga menaikkan standar kepastian pasar dengan melarang gharar, sehingga permainan derivatif, CDS, shorting komoditas, atau kontrak spekulatif yang sering memicu inflasi harga pangan tidak bisa eksis. Dalam pandangan An-Nabhani, pasar itu untuk jual beli nyata, bukan arena abstraksi finansial.

Hasil akhirnya adalah ekosistem ekonomi yang membatasi volatilitas dari luar: ketika blok geopolitik berperang harga minyak, sistem syariah tidak langsung terguncang karena energi bukan barang komersial, melainkan fasilitas hidup yang dijamin negara. Ketika dedolarisasi meningkat atau BRICS memperluas jaringan pembayaran, stabilitas internal negara berbasis syariah tidak ditentukan oleh hegemoni satu mata uang, karena mekanisme valas dalam Islam tidak berjalan di atas bunga atau spekulasi kurs.

Intinya, inflasi dalam kapitalisme selalu berulang karena sistemnya mengizinkan penyebabnya: riba, spekulasi, privatisasi hajat hidup, dan dominasi valuta tunggal. Sedangkan syariah, seperti dijelaskan oleh An-Nabhani, memotong akar masalah dengan aturan kepemilikan, distribusi, dan pasar yang mencegah ketidakstabilan itu muncul sejak awal.

Kesimpulan

Gejolak harga global hari ini bukan kecelakaan, melainkan arsitektur kekuasaan dalam ekonomi kapitalis: monopoli energi, manipulasi mata uang, dan spekulasi finansial digunakan sebagai instrumen ekstraksi nilai dari masyarakat dan negara yang lemah. Sistem ini menghasilkan krisis berulang karena krisis adalah mekanisme redistribusi kekayaan ke pusat kapital, bukan disfungsi yang harus dihindari.

Solusi teknokratis menaikkan suku bunga, diversifikasi energi, atau merancang instrumen keuangan baru hanya mengelola gejala tanpa membongkar mesin yang menciptakannya. Begitu logika akumulasi, riba, dan privatisasi tetap menjadi fondasi, siklus krisis akan berulang dalam bentuk yang lebih besar dan lebih mahal.

Syariah menawarkan alternatif yang tidak reaktif, melainkan struktural: menutup sumber krisis dengan menata ulang kepemilikan, distribusi, dan peran negara terhadap sumber daya vital. Bukan karena idealisme moral, tetapi karena kerangka institusional Islam tidak memberi ruang bagi mekanisme produksi krisis yang menjadi tulang punggung kapitalisme.

“Selama hajat hidup diprivatisasi, negara tidak berdaulat. Selama uang diciptakan oleh kredit, masyarakat akan hidup sebagai debitur sistem. Solusi parsial tidak menyentuh akar masalah.”

Dalam dunia multipolar, pertarungan mata uang dan energi akan makin intens, tetapi stabilitas bukan ditemukan dalam pergantian hegemon, melainkan dalam perubahan sistem: dari ekonomi berbasis krisis menuju ekonomi berbasis hak.

KIta Tidak Butuh Kapitalisme, KIta Butuh Sistem yang Berbeda

Hari ini, dunia menghadapi gejala penyakit struktural:

  • ketimpangan ekstrem
  • ekologi
  • perang geopolitik berebut energi
  • krisis utang yang tiada henti

Kapitalisme mencoba mengobati sekarat dengan obat yang sama: lebih banyak utang, lebih banyak investasi, lebih banyak eksploitasi.

BRICS bukan jalan keluar. Reformasi bukan solusi. CSR, ESG, green growth hanyalah racun yang dikemas ulang.

kita tidak sedang menghadapi “kapitalisme yang keliru”. Kita berhadapan dengan kapitalisme sebagai kejahatan sistem yang terstruktur.

Satu-satunya langkah rasional adalah:

bukan memperbaiki sistem, tapi menggantinya dengan sistem yang menempatkan manusia, bukan modal, sebagai pusat kehidupan.

Dan dalam perspektif Islam, itu berarti kembali pada syariah sebagai sistem politik-ekonomi, bukan sekadar simbol, bank syariah, atau label halal.

Kapitalisme adalah agama baru dunia. Dan kita tidak mungkin menang jika memilih menjadi penganut yang patuh.

Timeline Dinamika Ekonomi Global

1971 — Nixon Shock
AS memutus standar emas → lahir era fiat money.
Baca selengkapnya

1997 — Asian Financial Crisis
Krisis Asia Tenggara memicu reformasi IMF dan kebijakan fiskal baru.
Detail krisis

2000 — Dot-com Bubble
Pecahnya gelembung teknologi pertama era internet.
Penjelasan lengkap

2008 — Global Financial Crisis
Lehman Brothers runtuh → QE dimulai → bank sentral jadi “dewa likuiditas”.
Apa yang terjadi?

2014 — Oil Price Crash
Harga minyak rontok, geopolitik energi berubah total.
Sebab & dampak

2020 — Pandemic Money Printing
Cetak uang global terbesar sejak Perang Dunia II.
Dampak ekonomi

2022 — Energy Shock + Russia–Ukraine
Harga energi Eropa meledak, geopolitik energi berubah arah.
Energy crisis

2023 — BRICS Expansion
BRICS tumbuh → 40+ negara antri → geser dominasi dolar.
Perluasan BRICS

2024–2025 — BRICS Payment System
Upaya membangun sistem pembayaran non-SWIFT makin agresif.
Latar belakang BRICS

2025 → Fragmentasi Global Baru
Dunia bergerak ke arah multipolar: USD melemah perlahan, energi & logam jadi komoditas politik.

🤲 Dukung Kaffah Media Bantu jaga dakwah dan konten ideologis tetap berjalan.
📡 Ikuti Saluran Kaffah Media Semua artikel baru & catatan ideologis langsung ke perangkatmu. Tanpa tergantung algoritma.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak