Narasi ini mengajak kita kembali pada fitrah sebagai hamba Allah, bukan sekadar slogan "jadi diri sendiri". Ini ajakan untuk menyaring debu sosial dan ideologi sekuler, agar suara hati yang digariskan oleh Allah bisa terdengar lagi dan tunduk pada aturan-Nya.
Kadang kita bangun dengan perasaan ganjil: tubuh ini bergerak seperti biasa, tetapi jiwa seolah tertinggal beberapa langkah ke belakang. Kita menjalankan rutinitas, memenuhi kewajiban, tersenyum seperlunya; namun di sela sunyi yang singkat, muncul bisikan lirih: "Sebenarnya aku ini siapa di hadapan Allah, dan sedang berjalan ke mana?"
Ironisnya, di zaman ketika informasi mengalir seperti banjir tanpa pintu, arah hidup justru terasa makin kabur. Dunia semakin bising, tetapi hati semakin pelan suaranya. Sistem hidup sekuler mendorong manusia memaknai diri hanya dari karier, citra, dan pencapaian materi, seolah-olah kehidupan modern menjadikan kita apa saja… kecuali hamba yang mengenal Rabb-nya dan mengenal untuk apa ia diciptakan.
Kita hidup di tengah tekanan halus yang menyusup tanpa disadari. Kita didorong menjadi versi ideal yang tak pernah kita sepakati sendiri: harus produktif terus, harus tampak tenang, harus kuat, harus berhasil, harus cocok dengan standar yang tidak pernah kita rancang. Kita mengejar identitas yang lahir dari pandangan manusia, lalu merasa gagal dalam hidup yang sebenarnya Allah tidak pernah bebankan kepada kita.
Dulu, identitas tumbuh dari akar yang jelas: keluarga, nilai, akhlak, ibadah, dan keyakinan. Ada standar halal–haram yang diakui, ada agama yang menjadi sumber arah. Sekarang identitas banyak tumbuh dari perbandingan scroll tanpa henti, pencitraan digital, tren yang berganti setiap pekan, dan algoritma yang diam-diam menulis ulang keinginan kita.
Kita tidak lagi dibimbing oleh wahyu, tetapi oleh selera pasar dan budaya populer. Ideologi sekular-liberal mengajarkan bahwa manusia bebas menentukan baik-buruk menurut dirinya; akibatnya, identitas tidak lagi dibangun di atas ketundukan kepada Allah, tetapi di atas keinginan yang berubah-ubah. Inilah mengapa krisis identitas modern begitu dalam: bukan karena manusia tidak punya arah, tetapi karena terlalu banyak arah yang semuanya tidak terikat pada petunjuk-Nya.
Namun sesungguhnya, kita tidak benar-benar kehilangan diri. Yang hilang adalah hubungan dengan diri itu sebagaimana Allah menciptakannya. Diri kita tertutup debu ekspektasi sosial, ketakutan gagal, haus validasi, dan obsesi relevansi. Kita sibuk membentuk citra, tetapi lupa menyelaraskan diri dengan syariat. Kita sibuk menjelaskan siapa kita di mata manusia, padahal memahami diri sebagai hamba yang terikat halal–haram dan diutus untuk beribadah sudah lama tidak kita lakukan.
Mini Toolkit , 2 menit untuk menemukan arah
1. Tanyakan: "Ini keinginanku… atau sekadar gema dunia?" Beri diri jeda tiga detik. Keheningan kecil sering kali lebih jujur daripada tiga jam overthinking.
2. Bersihkan sedikit ruang: berhenti mengikuti beberapa akun yang membuatmu lupa mensyukuri. Ruang yang tidak terus memantulkan kehidupan orang lain memberi kesempatan bagi nurani untuk kembali terdengar.
3. Lakukan satu kegiatan yang hanya Allah yang tahu: membaca Al-Qur’an, menambah hafalan, merapikan sudut kamar, menulis paragraf pendek, atau duduk merenung tanpa tuntutan. Identitas spiritual bukan dibentuk oleh brand yang kita pakai, tetapi oleh kebiasaan sunyi yang menjaga hubungan kita dengan-Nya.
Sesekali ajukan pertanyaan yang jarang kita berani hadapi: Siapa dirimu ketika tidak ada manusia yang melihat? Amalan apa yang tetap kamu lakukan meski tak ada yang mengapresiasi? Nilai apa yang kamu pegang karena Allah suka, bukan karena dunia memuji? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak selalu memberi jawaban seketika, tetapi mereka membuka jalan pulang.
Pertanyaan reflektif, biarkan satu menempel sampai malam:
- Siapa aku sebagai hamba Allah ketika tidak sedang ingin disukai siapa pun?
- Amalan apa yang tetap aku lakukan meski tak ada yang tahu, karena aku yakin Allah melihat?
- Nilai apa dari syariat yang ingin aku bawa ke dunia dalam pekerjaan, keluarga, dan pilihan hidupku?
Krisis identitas modern bukan tanda bahwa kita rapuh semata.
Ia menjadi bukti bahwa hati masih protes ketika dipaksa hidup dalam standar yang tidak datang dari Penciptanya.
Di satu sisi, sistem sekuler mengajak kita menuhankan diri; di sisi lain, fitrah menuntun kita kembali menjadi hamba.
Mungkin, di tengah hiruk-pikuk zaman ini, tindakan paling berani bukan sekadar "menjadi diri sendiri",
tetapi berani menjadi diri yang Allah kehendaki:- pribadi yang menata cita-cita,
- pilihan hidup,
- dan identitas di bawah bimbingan wahyu.
Perjalanan ke sana tidak selalu cepat, mudah, atau lurus namun hanya di jalan itulah hati akhirnya merasa pulang.
Micro Worksheet: Arah Identitasmu
Pilih jawaban yang paling sesuai dengan kondisimu.
1. Apa yang paling sering membuatmu merasa kehilangan jati diri?
2. Aktivitas mana yang paling mengembalikanmu ke diri asli?
3. Kalau dunia tidak melihatmu, apa yang tetap kamu lakukan?