(Studi Kasus Kebijakan Ekonomi Indonesia, dari BBM sampai BPJS)
Setiap tahun, target pertumbuhan ekonomi diumumkan dengan penuh optimisme. Namun di balik angka-angka yang tampak indah itu, muncul pertanyaan penting: pertumbuhan untuk siapa, dan di atas landasan apa ambisi itu dibangun? Artikel ini mengajak pembaca melihatnya dengan kacamata syariah.
Setiap tahun, kita sudah hafal iramanya: menjelang akhir tahun atau awal tahun, pemerintah mengumumkan target pertumbuhan ekonomi. Angkanya selalu terdengar optimis: 5%, 6%, bahkan kadang dibumbui harapan tembus 7% dalam jangka menengah. Media mengutip pakar, bank sentral memberikan proyeksi, lembaga internasional memberi catatan, lalu semua sepakat bahwa “pertumbuhan” adalah kata kunci.
Namun, ketika angka-angka itu diumumkan, ada pertanyaan yang jarang diajukan dengan jujur: pertumbuhan untuk siapa? Dan di atas landasan apa pertumbuhan itu dibangun?
Indonesia adalah contoh nyata bagaimana ambisi pertumbuhan ekonomi ditempatkan dalam kerangka kapitalisme global. Target target angka disusun bukan hanya berdasarkan kebutuhan riil rakyat, tetapi juga berdasarkan standar lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan rating agency global. Ketika mereka bilang “iklim investasi membaik”, kita senang. Ketika mereka bilang “butuh reformasi struktural”, kita tergesa-gesa menyesuaikan regulasi. Seolah kedaulatan kebijakan bukan di tangan umat, tetapi di meja penilaian lembaga-lembaga itu.
Mari lihat lebih dekat, melalui kebijakan-kebijakan yang langsung menyentuh dapur rakyat: BBM, listrik, dan iuran BPJS.
Ambisi pertumbuhan dan “kebutuhan” menjaga defisit APBN sering dijadikan alasan untuk mengurangi subsidi BBM. Harga BBM dinaikkan, dan rakyat diminta memahami bahwa subsidi “tidak tepat sasaran” atau “membebani anggaran negara”. Di atas kertas, pengurangan subsidi membuat laporan keuangan negara tampak lebih sehat. Defisit bisa ditekan, rating utang bisa membaik, dan sinyal ke investor terlihat positif.
Namun, di sisi lain, kenaikan harga BBM adalah pukulan langsung ke rakyat kecil. Biaya transportasi naik, harga bahan pokok ikut merambat, ongkos produksi membengkak, dan efek berantainya menghantam mereka yang penghasilannya tetap atau bahkan tidak pasti. Grafik pertumbuhan ekonomi bisa tetap naik, tapi pengeluaran rumah tangga miskin ikut naik tanpa diimbangi kenaikan penghasilan.
Padahal, dalam kacamata syariah, BBM, minyak dan gas bukan sekadar komoditas biasa, tetapi bagian dari kepemilikan umum yang penggunaannya harus dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Kekayaan besar seperti minyak dan gas seharusnya dikelola negara secara langsung, hasilnya dikembalikan dalam bentuk harga murah atau layanan publik gratis/terjangkau. Ketika sumber energi vital rakyat diperlakukan sebagai barang dagangan yang mengikuti kalkulasi pasar dan fiskal semata, di situ terlihat jelas betapa jauhnya kebijakan dari standar syariah.
Hal yang serupa tampak dalam kebijakan tarif listrik. Listrik bukan lagi dipandang sebagai layanan dasar yang mesti dijamin dengan harga sangat terjangkau, tetapi sebagai produk dari sebuah korporasi yang neracanya harus sehat, investasinya menarik, dan bisnisnya berkelanjutan. Maka lahirlah penyesuaian tarif, pengurangan subsidi bertahap, segmentasi pelanggan, bahkan dorongan agar rakyat “hemat” dalam bentuk yang kadang menyakitkan: kalau tidak sanggup bayar, siap-siap saja diputus.
Dalam sistem seperti ini, negara cenderung bertindak sebagai manajer korporasi ketimbang penggembala umat (raa’in). Padahal dalam perspektif Islam, sumber energi besar yang menjadi fasilitas publik vital masuk kategori yang tidak boleh dijadikan lahan bisnis untuk meraup laba swasta. Rasulullah ﷺ telah menegaskan bahwa manusia berserikat dalam air, padang rumput, dan api. Para ulama menjelaskan, “api” di masa kini mencakup energi secara umum: listrik, gas, dan seterusnya. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menempatkan sektor energi sebagai bagian dari kepemilikan umum yang harus dikelola negara, dan hasilnya digunakan untuk menjamin kebutuhan rakyat, bukan menambah beban mereka.
Contoh lain yang tak kalah nyata adalah iuran BPJS Kesehatan. Dengan dalih memperluas jaminan kesehatan, negara mewajibkan masyarakat menjadi peserta BPJS dan membayar iuran rutin. Di atas kertas, skema ini terlihat mulia: agar semua orang punya akses layanan kesehatan. Namun, dalam praktik, iuran yang terus naik, sanksi administratif bagi yang menunggak, dan kualitas pelayanan yang sering dikeluhkan membuat banyak orang merasa bahwa ini bukan sekadar “jaminan”, tetapi beban baru di tengah kesempitan hidup.
Di sisi lain, negara berdalih bahwa biaya kesehatan terus meningkat, rumah sakit butuh kepastian pembayaran, dan APBN terbatas. Lagi-lagi, keterbatasan fiskal ditarik ke depan, sementara di belakang layar, negara tetap melanjutkan pola pembiayaan berbasis utang riba dan tetap membiarkan kekayaan umum digarap korporasi besar. Paradigma dasarnya belum berubah: rakyat diminta patuh dan membayar, negara menyesuaikan diri dengan logika fiskal dan pasar.
Dalam perspektif syariah, kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar yang wajib dijamin negara kepada rakyat secara nyata, bukan sekadar “difasilitasi skemanya”. Negara tidak boleh melempar beban pembiayaan ini ke pundak rakyat dengan dalih iuran yang terus disesuaikan. Justru pengelolaan kekayaan umum tambang, migas, mineral, hutan, dan lainnya seharusnya menjadi sumber riil untuk membiayai layanan kesehatan, pendidikan, dan layanan dasar lainnya.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa kegagalan negara modern, termasuk negeri-negeri Muslim, dalam menjamin kebutuhan dasar rakyat bukan karena miskinnya potensi, tetapi karena salahnya sistem kepemilikan dan pengelolaan harta. Ketika kepemilikan umum diprivatisasi, negara kehilangan sumber pemasukan besar. Ketika pembiayaan pembangunan bertumpu pada utang riba, APBN tercekik cicilan dan bunga. Akhirnya, “solusi” yang dipilih selalu kembali ke rakyat: subsidi dipangkas, tarif dinaikkan, pajak diperluas, iuran diwajibkan.
Dalam logika kapitalisme, ini semua disebut “kebijakan rasional” demi menjaga stabilitas makro dan menarik investasi. Dalam logika syariah, ini adalah bentuk kezhaliman struktural: hak umat atas kekayaan umum diambil, lalu mereka tetap diminta membayar untuk layanan yang seharusnya dijamin.
Dari sinilah kita memahami bahwa ambisi pertumbuhan ekonomi di Indonesia melalui penyesuaian harga BBM, kenaikan tarif listrik, kewajiban dan kenaikan iuran BPJS, serta berbagai kebijakan serupa tidak berdiri di ruang kosong. Ia lahir dan tumbuh di atas fondasi pemikiran kapitalistik yang memuliakan angka pertumbuhan, rating, dan iklim investasi, sekalipun hal itu mengorbankan kemudahan hidup rakyat kecil.
Kita bisa saja terus berdebat di level teknis: subsidi BBM sebaiknya tetap atau dikurangi, tarif listrik naik bertahap atau sekaligus, iuran BPJS disesuaikan tiap berapa tahun. Namun semua perdebatan itu terjadi dalam bingkai sistem yang sama. Selama bingkainya kapitalisme, rakyat akan selalu diposisikan sebagai pihak yang harus beradaptasi dengan “kebutuhan fiskal” negara, bukan sebaliknya.
Sebaliknya, Islam menawarkan paradigma yang berbeda sejak akar. Dalam sistem Khilafah yang digambarkan oleh para fuqaha dan dijelaskan secara rinci oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, negara tidak mengejar pertumbuhan demi angka, tapi menjalankan kewajiban syar’i: menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat pangan, sandang, papan serta layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Negara mengelola kekayaan umum sebagai milik umat, bukan milik pasar. Negara membiayai pembangunan tanpa utang riba, tapi melalui pengelolaan sumber daya yang sudah ditetapkan syariah.
Dalam kerangka itu, BBM dan listrik bisa murah bukan karena “subsidi sementara” yang sewaktu-waktu boleh dicabut, tetapi karena pada hakikatnya itu adalah hak rakyat atas kekayaan umum mereka. Layanan kesehatan bisa diakses tanpa paksaan iuran yang mencekik, karena negara memiliki pemasukan stabil dari pengelolaan kekayaan umum dan sumber-sumber sah lainnya.
Pertumbuhan ekonomi tetap mungkin terjadi. Jalan bisa dibangun, teknologi bisa berkembang, industri bisa maju. Tapi semua itu bukan lagi berhala yang disembah. Ia hanya hasil samping dari penerapan hukum Allah yang benar. Yang menjadi standar bukan lagi proyeksi lembaga internasional, tetapi ridha Allah dan tegaknya keadilan di tengah umat.
Ambisi pertumbuhan ekonomi Indonesia hari ini, jika terus dirumuskan dalam bahasa lembaga-lembaga internasional, utang riba, privatisasi, dan logika investasi kapitalistik, hanya akan mengukuhkan posisi negeri ini sebagai pemain pinggiran dalam sistem global yang zalim. Umat Islam di negeri ini perlu berani mengajukan pertanyaan yang tampak “tabu” dalam diskursus arus utama:
bolehkah kita membangun ekonomi dengan fondasi riba, sementara kita mengaku beriman kepada Al-Qur’an yang mengharamkannya?
wajarkah kekayaan alam milik umat dikuasai segelintir korporasi, sementara rakyat diminta bersabar atas mahalnya biaya hidup dari BBM, listrik, hingga kesehatan?
adilkah rakyat terus diminta membayar pajak, tarif, dan iuran, sementara sumber keuangan negara dari kepemilikan umum justru diserahkan ke swasta atau asing?
Pertanyaan-pertanyaan ini bukan sekadar kritik, tetapi ajakan untuk menggeser standar. Dari standar kapitalisme menuju standar syariah. Dari kebanggaan semu atas pertumbuhan angka menuju kebanggaan hakiki atas tegaknya keadilan dan ketaatan.
Selama umat masih memandang “normal” model pembangunan yang bertumpu pada utang riba, privatisasi, dan pembebanan biaya hidup kepada rakyat, maka ambisi pertumbuhan ekonomi hanya akan menjadi kisah berulang: angka-angka yang dipuja di panggung, sementara realitas rakyat tetap berkubang dalam keterhimpitan.
Saatnya umat menyadari bahwa problem ini bukan sekadar buruknya manajemen, tetapi salahnya sistem. Dan solusi yang dibutuhkan bukan sekadar perbaikan teknis, tetapi perubahan ideologis: kembali kepada syariah secara total, dalam naungan kepemimpinan yang menerapkannya tanpa seleksi dan tanpa kompromi. Hanya dengan itu, ambisi pertumbuhan tidak lagi menjadi jebakan, tetapi berubah menjadi bagian dari perjalanan memakmurkan bumi dalam ketaatan kepada Allah.
✨ Ringkasan Singkat: Ambisi Pertumbuhan Ekonomi & Standar Syariah
- Pertumbuhan ekonomi versi kapitalisme mengejar angka PDB, rating, dan iklim investasi, sering kali dengan mengorbankan kemudahan hidup rakyat kecil.
- BBM, listrik, dan BPJS jadi contoh konkret: subsidi dipangkas, tarif dan iuran naik, sementara kekayaan umum banyak yang dinikmati korporasi besar.
- Syariah memandang migas, energi, dan sumber daya besar sebagai kepemilikan umum yang wajib dikelola negara untuk kemaslahatan umat, bukan komoditas untuk laba swasta.
- Utang berbasis riba dan privatisasi bukan sekadar salah teknis, tapi cacat ideologis; ia menjerat APBN dan memaksa negara terus menarik pajak dan iuran dari rakyat.
- Solusi Islam: negara (Khilafah) menjamin kebutuhan pokok dan layanan dasar dari pengelolaan kekayaan umum, tanpa riba, dengan standar ridha Allah — bukan sekadar naiknya grafik pertumbuhan.
Apa masalah utama model pertumbuhan sekarang?
Pertumbuhan didefinisikan dari sudut pandang kapitalisme: selama angka PDB naik dan investor senang, dianggap sukses. Beban hidup rakyat, ketimpangan, dan kedaulatan ekonomi sering ditaruh di urutan belakang.
Di mana letak kezaliman strukturalnya?
Kekayaan umum seperti migas dan energi diserahkan ke korporasi, negara kehabisan sumber pemasukan, lalu menutupinya dengan utang riba, pajak yang melebar, kenaikan tarif, dan iuran wajib. Rakyat kehilangan hak, tapi tetap ditarik bayar.
Sikap dan solusi menurut syariah?
Menggeser standar dari kapitalisme ke syariah: menolak riba sebagai fondasi pembangunan, mengembalikan kepemilikan umum ke tangan umat melalui negara yang amanah, dan menjadikan pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu sebagai target utama, bukan sekadar mengejar grafik pertumbuhan.
Rekomendasi Bacaan
politik ekonomi Islam adalah politik ekonomi agung. Karenanya, tidak ada alasan bagi kaum muslim untuk tetap berpegang teguh pada doktrin-doktrin ekonomi Kapitalisme, Sosialisme, dan segala derivatnya, yang telah terbukti kebatilannya, serta kerusakan dan kebobrokannya. .
Cek di Shopee
Rekomendasi Bacaan
Buku ini adalah salah satu bukti Islam mampu menjawab persoalan ekonomi dan bisnis kekinian. Juga sebagai pemandu umat dalam muamalah agara bukan sekedar bicara untung rugi.
Cek di Shopee