Di ujung hari, ketika lampu-lampu kota mulai berkedip dan notifikasi tetap berdenting seperti jam yang tak pernah istirahat, kita ditanya: apa yang sedang kita kejar? Jika kapitalisme adalah jalan, mengapa banyak dari kita tiba di persimpangan kelelahan?
Tulisan ini bukan serangan dogmatis melainkan permintaan sederhana untuk berpikir ulang. Di balik statistik dan jargon ekonomi ada sebuah tanya: apa tujuan hidup kita sebagai kaum yang berpikir, bekerja, dan bermimpi? Ketika sistem menilai segalanya lewat ukuran kuantitatif, kita kehilangan ukuran-ukuran lain yang lebih penting: kehormatan, keberkahan, ketaatan, dan ketenangan hati.
Kapitalisme modern mempromosikan satu narasi: kehidupan yang bernilai adalah kehidupan yang produktif. Produktivitas menjadi tujuan akhir bukan sarana. Kita diajarkan untuk mengukur diri lewat saldo, pengikut, atau jumlah kepemilikan. Namun ukuran-ukuran ini tak pernah cukup; seperti ruang yang bocor, kepuasan selalu menguap, meninggalkan retak-retak lelah dalam jiwa kolektif.
Di sinilah ekonomi syariah hadir sebagai pandangan otentik bukan sekadar aturan teknis, melainkan kerangka etis yang menempatkan manusia pada pusatnya. Dalam syariah, harta diberi makna sebagai amanah, waktu dan kemampuan diberi nilai yang terikat pada tanggung jawab sosial. Larangan riba, kewajiban zakat, serta prinsip bagi hasil adalah upaya membangun ekonomi yang menegakkan kehormatan manusia, bukan memecahnya.
Jika kapitalisme menilai uang sebagai tanda kebebasan, ekonomi syariah menilai kebebasan sejati sebagai ketika seseorang tidak diperbudak oleh harta, dan ketika harta tidak menjadi alat untuk menindas. Dalam bahasa yang lebih filosofis: kapitalisme dapat memperbesar kemampuan manusia, tetapi juga ia akan memperbesar pula kemampuan untuk menenggelamkan sesama.
Di sinilah kelelahan menemukan akarnya bukan hanya karena kerja keras, tetapi karena struktur yang membuat manusia bertindak melawan kodrat dirinya: bersaing hingga memecah solidaritas, menimbun hingga mengikis empati, dan mengejar hingga mengabaikan makna.
Peralihan paradigma bukan berarti menolak teknologi, pasar, atau kapasitas untuk tumbuh. Sebaliknya, ini mengubah tujuan pertumbuhan. Bila pertumbuhan direbut kembali untuk melayani kehidupan yang bermakna bukan sekadar menambah angka maka energi kolektif kita tidak lagi terkuras dalam perlombaan tanpa hasil.
Ekonomi syariah juga menanamkan gagasan bahwa kesejahteraan adalah tanggung jawab bersama. Ketika hak dan kewajiban diatur agar tak saling meniadakan, kehidupan sosial menjadi lebih berdaya tahan terhadap krisis. Dan ketika kewajiban moral menjadi bagian dari aturan ekonomi, kita membangun sistem yang merawat manusia bukan memerasnya.
Memang, pertanyaan ini menuntut lebih dari perubahan kebijakan; ia menuntut perubahan cara kita melihat makna sukses. Apakah sukses itu ketika seseorang menjadi lebih kaya dibanding tetangganya, atau ketika sebuah komunitas hidup lebih tenang, lebih adil, dan lebih beradab?
(HR. Muslim)
Imam Al-Ghazali pernah mengingatkan bahwa manusia akan tersesat ketika menjadikan dunia sebagai tujuan, bukan sebagai jalan. Kapitalisme mendorong orientasi ini: menjadikan materi sebagai puncak makna. Sedangkan syariah mengembalikan kita kepada penataan hati bahwa harta hanyalah alat, bukan identitas.
Dalam perspektif ideologis, syariah tidak hanya mengatur perilaku ekonomi, tetapi juga dunia batin manusia. Ia menuntut keadilan, mengharamkan eksploitasi, dan memerintahkan distribusi yang menjaga martabat masyarakat. Semua ini bukan sekadar aturan teknis melainkan implementasi dari risalah bahwa kehidupan manusia lebih luhur daripada angka pertumbuhan.
(HR. Muslim)
Ibn Khaldun melihat ekonomi bukan sekadar aktivitas transaksi, tetapi nyawa peradaban. Baginya, ketimpangan yang dibiarkan tumbuh akan menggerus solidaritas sosial, memecah masyarakat menjadi kelompok dominan dan tertindas, hingga akhirnya mengguncang fondasi negara. Kapitalisme dengan orientasi penumpukan harta di tangan sedikit orang membawa pola kerusakan yang sama.
Al-Mawardi menekankan bahwa pemerintahan tidak bisa tegak tanpa keadilan sebagai prinsip utama. Dalam ekonomi syariah, keadilan ini diterjemahkan dalam larangan eksploitasi, proteksi terhadap hak-hak individu, dan pembatasan kekuasaan ekonomi agar tidak merusak kehidupan sosial. Kapitalisme, sebaliknya, sering menormalisasi ketidaksetaraan sebagai konsekuensi pasar bebas.
Taqiyuddin an-Nabhani menekankan bahwa ekonomi syariah adalah sistem ideologis bukan sekadar kumpulan kebijakan teknis. Baginya, semua aturan ekonomi lahir dari akidah Islam, bukan sekadar pertimbangan manfaat duniawi. Dengan landasan ini, syariah menawarkan sistem yang stabil, bermartabat, dan bebas dari permainan rente serta spekulasi yang menjadi jantung kapitalisme.
Setiap pembaca siapa pun Anda berhak mengajukan pertanyaan yang tidak pernah diajarkan kapitalisme untuk ditanyakan: Apakah hidup seperti ini benar-benar satu-satunya kemungkinan? Dunia sering membuat kita percaya bahwa realitas adalah pakem yang tak bisa diganggu-gugat. Padahal peradaban berubah bukan oleh mereka yang menerima keadaan, tetapi oleh mereka yang berani menafsir ulang apa artinya menjadi manusia.
Ekonomi syariah, pada akarnya, bukan sekadar solusi teknis. Ia mengajak kita kembali merenungkan nilai: dari mana kita datang, untuk apa kita bekerja, dan ke mana harta dan tenaga kita seharusnya mengalir. Ia mengingatkan bahwa kesejahteraan bukan hanya angka; ia adalah keadaan jiwa ketika keadilan hadir, ketika hubungan sosial terjaga, dan ketika rezeki tidak diperdagangkan oleh segelintir orang.
Dalam dunia yang sibuk mengejar pertumbuhan, barangkali renungan paling besar justru ini: kesadaran kita tentang hidup akan menentukan sistem yang kita terima, perjuangkan, atau ubah. Bila kesadaran itu dibangun kembali, pintu menuju paradigma ekonomi yang lebih manusiawi lebih Ilahiah akan terbuka dengan sendirinya.
