Redaksi KaffahMedia · Catatan atas bencana hidrometeorologi di Sumatera
Tragedi di Sumatera adalah duka kemanusiaan yang dalam. Di atas kertas, bencana ini dilaporkan melalui data: angka kematian, jumlah hilang, korban selamat, serta nominal bantuan. Namun angka tidak menggambarkan trauma, kehilangan, dan runtuhnya sistem kehidupan masyarakat yang bertahun-tahun dibangun.
Di satu sisi, negara terlihat responsif evakuasi, bantuan logistik, hingga rencana rekonstruksi pascabencana. Di sisi lain, akar persoalan struktural sering luput dibahas: kerusakan ekologi sistemik, deforestasi agresif, tata ruang yang buruk, serta ekspansi ekonomi yang menekan wilayah rentan.
Dalam model pembangunan sekarang, lingkungan hidup sering dilihat sebagai sumber kapital yang harus diekstraksi. Dampaknya, ketika bencana datang, masyarakat kecil yang tidak menikmati keuntungan justru menjadi pihak yang paling dulu menanggung kerugian.
Sikap kritis terhadap negara dan korporasi sangat penting, tetapi tidak cukup berhenti di kritik. Diperlukan tawaran solusi yang sistemik, yang tidak hanya memulihkan rumah dan jalan, tetapi memulihkan keadilan ekologis, ekonomi, dan sosial.
Dari kacamata syariah, pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan nyawa manusia bukanlah pilihan, tetapi kewajiban negara. Negara seharusnya menerapkan kebijakan yang mencegah kerusakan, bukan yang justru memproduksi risiko.
Maka, solusi yang mendesak bukan sekadar mempercepat pembangunan kembali, tetapi:
- menghentikan praktik eksploitasi ekologis yang tidak berkelanjutan,
- mereformasi tata kelola berbasis keadilan sosial dan ekologi,
- membangun mitigasi bencana berbasis komunitas,
- memperkuat perlindungan sosial bagi kelompok rentan,
- menempatkan syariah sebagai kerangka etis dan normatif pengelolaan alam.
Masyarakat punya hak untuk hidup aman dan bermartabat. Negara wajib memastikan itu, tidak hanya dengan bantuan pasca bencana, tetapi dengan mencegah bencana terjadi atau memperparah dampaknya.
Di titik inilah kritik ideologis menemukan relevansinya: akar masalah bukan pada “kemarahan alam” semata, tetapi pada model pembangunan kapitalistik yang menempatkan profit di atas keberlanjutan manusia dan lingkungan.
Kita tidak akan mengubah apa pun jika solusi yang ditawarkan hanya bersifat reaktif, temporer, dan kosmetik. Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma menuju sistem yang menempatkan pemeliharaan jiwa (hifz an-nafs) dan pemeliharaan lingkungan sebagai prioritas hukum, bukan efek samping.
Maka, sambil membangun solidaritas kemanusiaan dan membantu korban, kita perlu mendorong transformasi struktural: dari eksploitasi menuju keadilan, dari ketergantungan pada pasar menuju pengelolaan sumber daya publik, dari narasi “bencana alam” menuju kesadaran akan tanggung jawab manusia dan negara.
Inilah alasan mengapa kami menekankan, bahwa penyelesaian problem bencana tidak cukup dilakukan melalui pendekatan teknis, tetapi membutuhkan kerangka syariah sebagai tata kelola publik yang tegas melindungi kehidupan, alam, dan kepentingan rakyat.
Kita tidak boleh lagi hanya menghitung korban. Saatnya menghitung berapa lama lagi kita rela hidup di bawah sistem yang membiarkan rakyat mati perlahan.
