Relativisme: Ketika Kebenaran Jadi Preferensi

Relativisme Moral Halus: Ketika Kebenaran Jadi Preferensi — Kaffahmedia
Kaffahmedia — Ringkas & Tajam

Esai ini menelusuri bagaimana kabut bahasa, budaya, dan algoritma membentuk budaya di mana kebenaran moral menjadi sekadar preferensi, dan kenapa hal itu berbahaya bagi umat yang berpegang pada wahyu.

Dunia modern bergerak begitu cepat hingga nilai benar dan salah sering kali tidak sempat dibahas, apalagi ditetapkan. Yang penting “nyaman”, “aman secara sosial”, dan “tidak menyinggung siapa pun”. Dari ruang kampus hingga linimasa, dari tontonan harian sampai kebijakan publik, terbentuk iklim baru: setiap orang boleh membawa moral versi masing-masing, selama tidak mengganggu orang lain. Sekilas tampak damai, padahal di baliknya tersembunyi racun ideologis yang lebih halus dari nihilisme dan lebih mematikan dari sekularisme biasa. Itulah relativisme .

Relativisme bukan barang baru. Tetapi yang bekerja hari ini jauh lebih canggih: ia tidak datang sebagai serangan frontal, melainkan sebagai kabut tipis yang menyelinap lewat bahasa, budaya, dan algoritma . Orang tak menyadari dirinya berubah, sampai tiba-tiba mereka mendapati bahwa “benar” dan “salah” bukan lagi kategori normatif, melainkan sekadar preferensi pribadi. Fenomena ini telah lama didiagnosis oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani sebagai gejala ideologi sekuler yang menyingkirkan wahyu dari panggung kehidupan. Ketika standar hidup terlepas dari sumber absolut, manusia dibiarkan mengarang kebenaran masing-masing. Hasilnya? Kekacauan pemikiran yang dianggap normal, bahkan dirayakan.

Namun An-Nabhani bukan satu-satunya yang membaca kerusakan ini. Zygmunt Bauman menyebut era sekarang sebagai “dunia cair”, tempat nilai-nilai meleleh sebelum sempat dipahami. Charles Taylor menggambarkan zaman yang memisahkan diri dari horizon moral transenden. Alasdair MacIntyre mengingatkan bahwa masyarakat modern telah terperangkap dalam emotivisme: moral diperkecil menjadi ekspresi perasaan individual. Semua ini mengarah pada pola tunggal: relativisme bukan yang menghancurkan dengan palu, tetapi yang menumpulkan batas sampai tidak terasa lagi.

Relativisme tidak pernah berteriak, “Allah tidak ada,” atau “syariat tak relevan.” Ia hanya berbisik pelan: “Kan semua punya perspektif.” Dan bisikan seperti inilah yang perlahan menggerus keberanian seorang Muslim untuk menyatakan yang haq sebagai haq, dan yang batil sebagai batil. Ketika seseorang mulai menggumam, “tergantung sudut pandang,” pada perkara yang sudah jelas dalam wahyu, maka ia bukan sedang membangun toleransi, tetapi sedang kehilangan fondasi. Dalam kultur seperti ini, kejelasan dianggap kasar, ketegasan dianggap tidak sopan, dan standar dianggap ancaman terhadap kebebasan individu. Jadilah generasi yang takut terlihat yakin, takut terlihat teguh, takut menegakkan hukum Allah karena khawatir dicap tidak inklusif, radikal, intoleran dll.

Peran Algoritma

Yang membuatnya makin halus adalah peran algoritma. Algoritma tidak pernah bertanya, “Benarkah?” Ia hanya bertanya, “Kamu suka apa?” Setiap orang hidup dalam echo chamber yang mempertebal ilusi bahwa tidak ada nilai yang lebih tinggi dari diri sendiri. Bauman melihat mekanisme ini sebagai dunia di mana dorongan sesaat diperlakukan sebagai natur manusia, sementara teknologi memastikan kita hanya bertemu cermin dari hawa nafsu yang sama. Maka relativisme tidak hanya disebarkan manusia, tetapi mesin dan itu jauh lebih efisien daripada propaganda ideologi apa pun.

Gejala yang tampak:
  • Ungkapan “tergantung sudut pandang” dipakai untuk perkara yang mempunyai dasar normatif.
  • Toleransi dipahami selektif: diterima untuk pluralitas nilai, dilarang bagi yang menegakkan kebenaran.
  • Keputusan moral sering bergantung pada selera publik dan popularitas, bukan prinsip transenden.

Dalam pemikiran An-Nabhani, moral bukan sekadar penilaian baik-buruk, tetapi bagian dari sistem hidup yang berpijak pada aqidah. Karena itu ketika standar moral diputus dari aqidah, kekosongan muncul dan masyarakat mengisinya dengan kesenangan (hedonisme), popularitas (narsisisme), manfaat jangka pendek (utilitarianisme), atau sensitivitas sosial (moralitas perasaan). MacIntyre menunjukkan bahwa tanpa fondasi moral objektif, debat moral modern tidak lebih dari adu sentimen: yang menang bukan kebenaran, tetapi suara paling nyaring atau yang paling menyentuh emosi.

Toleransi

Relativisme juga menyamar sebagai toleransi . Versi modernnya berbunyi: “Semua boleh benar, kecuali mereka yang meyakini ada kebenaran absolut.” Di sinilah kritik An-Nabhani paling relevan: ketika standar moral absolut dianggap ancaman, masyarakat telah memihak relativisme bukan netral. Akibatnya, yang mengajak pada kebenaran dianggap radikal; yang konsisten dianggap kaku; yang memegang prinsip dianggap mengganggu harmoni. Relativisme tidak menghapus nilai , ia membuat nilai absolut terlihat sebagai masalah.

Sebagian menganggap ini bukan pertarungan besar. Tidak ada debat panas, tidak ada konfrontasi ideologis terang-terangan. Justru di situlah bahayanya: ia masuk lewat nada santai “jangan nge-judge”, lewat budaya “semua pilihan valid”, lewat rasa sungkan yang lebih kuat daripada komitmen kepada Rabb. Relativisme membuat hidup terasa lembut, namun justru melemahkan tulang punggung peradaban. Ia menjadikan syariat opsional, menjadikan moral agama setara dengan opini pribadi, dan menjadikan banyak Muslim hidup dengan dua standar: yang diakui dan yang diikuti.

Penutup

Jika nihilisme menghilangkan makna, relativisme moral menghilangkan keberanian. Jika Sekularisme memisahkan agama dari ruang publik, relativisme memisahkan agama dari hati. Dan ketika hati tidak lagi yakin, dunia yang fana tampak lebih nyata daripada janji Allah yang abadi. Relativisme bukan sekadar kekacauan logika , ia adalah gejala lunturnya identitas dan pudarnya horizon moral.

Pada akhirnya, semua analisis dari An-Nabhani hingga Taylor, dari MacIntyre hingga Bauman , bertemu pada satu simpul: manusia hanya memiliki dua jalan. Jalan wahyu yang pasti, atau jalan selera manusia yang berubah-ubah. Tidak ada ruang “tengah-tengah” di antara keduanya .

🤲
Dukung Kaffah Media
Bantu menjaga kajian ideologis dan dakwah berkualitas.
📡
Ikuti Saluran Kaffah Media
Dapatkan artikel & kajian langsung ke perangkat Anda.

Micro Worksheet: Posisi Makna & Nilai Hidupmu

Jawablah dengan jujur. Ini bukan tes benar-salah, melainkan cermin apakah pandangan hidup Anda condong pada makna, ragu, atau relativisme nihil.

Catatan penulis — Kaffahmedia

Relativisme pemikiran dan moral adalah permainan halus. Saya menulis ini untuk membangunkan kembali keberanian berpegang pada wahyu, bukan untuk menghakimi, tetapi untuk mengingatkan. Jika artikel ini menggugah, sebarkanlah di lingkungan Anda.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak