Redaksi KaffahMedia · Catatan atas perubahan mekanisme penetapan UMP 2026.
Di atas kertas, perubahan mekanisme UMP 2026 ini tampak seperti langkah “desentralisasi upah”: pusat tidak lagi mengumumkan satu angka serentak, daerah diberi ruang lebih besar lewat Dewan Pengupahan dan keputusan gubernur. Narasi yang dibangun: upah bisa lebih menyesuaikan kondisi ekonomi tiap daerah.
Namun bagi buruh dan pekerja, pertanyaan paling dasar tetap sama: apakah upah akan benar-benar naik mendekati kebutuhan hidup layak, atau sekadar disesuaikan dengan kemampuan dunia usaha? Formula boleh kelihatan teknis dengan istilah alpha, pertumbuhan ekonomi, dan produktivitas, tetapi pada akhirnya yang dirasakan di lapangan adalah beras, sewa rumah, ongkos sekolah, dan tarif listrik.
Di sisi lain, pelaku usaha juga punya kekhawatiran sendiri. Ketika keputusan lebih banyak digeser ke daerah, potensi tekanan politik lokal dan tarik-menarik kepentingan bisa menguat. Ada risiko disparitas makin lebar antarwilayah: sebagian provinsi mungkin berani menaikkan upah lebih tinggi, sementara yang lain menahan dengan alasan iklim investasi. Buruh di daerah dengan pertumbuhan rendah bisa kembali menjadi “korban statistik”.
Dalam perspektif Islam, upah bukan sekadar angka hasil rumus teknokratis, tetapi bagian dari akad kerja yang adil. Negara wajib memastikan bahwa tenaga kerja tidak diperas, sementara pengusaha juga tidak dipaksa di luar batas kemampuan riil. Prinsip “ajîru ajrahu qabla an yajiffa ‘araqahu” mengingatkan bahwa hak pekerja harus dijaga, bukan dijadikan variabel penyesuaian setiap kali ekonomi goyah.
KaffahMedia memandang, umat perlu membaca kebijakan ini dengan kacamata kritis dan adil: mendukung setiap upaya yang benar-benar mendekatkan upah pada kebutuhan hidup layak, sekaligus mengawasi agar desentralisasi tidak menjadi alasan baru untuk melempar tanggung jawab dari pusat ke daerah. Perdebatan soal formula penting, tetapi lebih penting lagi memastikan pekerja dapat hidup bermartabat di tengah naiknya biaya hidup.
Pada akhirnya, selama sistem ekonomi masih bertumpu pada logika kapitalistik yang menempatkan efisiensi dan keuntungan di atas kemaslahatan mayoritas pekerja, polemik upah minimum akan terus berulang setiap tahun. Kebijakan teknis boleh berubah, tetapi arah besar sistem tetap perlu dikoreksi agar keberpihakan pada rakyat pekerja tidak berhenti pada konferensi pers dan angka di atas kertas.