Sebagian orang sering menganggap bahwa masa ketika tidak lagi lahir Mujtahid Mutlak adalah masa jumud, masa di mana fikih mandek, apalagi ketika karya-karya ulama lebih banyak berupa syarah, hasyiah, dan ikhtisar . Mereka membayangkan bahwa berhentinya kemunculan mazhab baru berarti berhentinya gerak ijtihad .
Padahal, cara beragama yang tidak bermazhab atau dengan mentarjih antar mazhab tanpa kerangka metodologis yang jelas justru jauh lebih berpotensi membuat fikih stagnan. Tanpa panduan yang jelas dan kaidah yang terstruktur, seseorang tidak akan mampu menemukan hukum atas persoalan baru, sebagaimana contoh kasus yang akan kami angkat di akhir tulisan ini.
Para ulama sebenarnya tidak pernah menutup pintu ijtihad . Tidak ada satu pun yang menutupnya, dan pintu ijtihad itu sendiri tidak mungkin ditutup. Yang berubah hanyalah bentuknya: dari ijtihad mutlak menuju ijtihad dalam mazhab. Artinya, ruang istinbath , koreksi, tarjih internal, dan pengembangan hukum tetap hidup seiring dinamika zaman. Persoalan-persoalan baru terus muncul, dan para ulama tetap menetapkan hukum baru berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, hanya saja melalui kaidah istinbath mazhab yang telah mapan.
Mengapa demikian? Karena mereka menyadari bahwa mereka hidup pada fase ketika mazhab-mazhab fikih telah mencapai istiqrar. Kerangka metodologis sudah terbentuk dengan rapi dan sistemik. Selain itu, kaidah istinbath bersifat mahshurah (terbatas), sehingga metode apa pun yang ingin dilahirkan tetap harus bersandar pada salah satu kerangka metodologis mazhab yang sudah ada.
Misalnya, dalam pembahasan ‘ām (lafal umum).
Menurut Hanafiyah, dalalah ‘ām atas keseluruhan individu bersifat qath‘i . Karena itu, jika ingin men takhsis lafaz ‘ām, harus dengan dalil yang juga qath‘i . Maka hadis āḥād yang zhannī tidak dapat mentakhsis ayat Al-Qur’an yang umum dan qath‘i . Sementara menurut jumhur , dalalah ‘ām bersifat zhannī , sehingga hadis āḥād boleh mentakhsis ayat Al-Qur’an. Kedua cara berpikir ini merupakan sistem yang utuh.
Karena itu, jika seseorang hari ini ingin berijtihad langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah, ia tidak mungkin menciptakan “pendekatan ketiga”. Ia tetap harus memilih: apakah ‘ām itu qath‘i (seperti Hanafiyah) atau zhannī (seperti jumhur). Metodologi sudah terbatas dan tidak mungkin ditambah.
Lalu muncul pertanyaan: “Kalau begitu, kenapa para ulama tidak melakukan sintesis baru saja? Menggabungkan kaidah-kaidah dari berbagai mazhab lalu menghasilkan pola penemuan hukum yang lebih mantap?”
Jawabannya: karena apa yang dilakukan Imam Syafii atau Imam Ahmad dahulu terjadi sebelum mazhab-mazhab mencapai fase istiqrar . Ketika mereka menyusun metodologi baru, kerangka masing-masing mazhab belum sepenuhnya final. Karena itu mereka dapat mengambil sebagian dari Hanafiyah, sebagian dari Malikiyah, sebagian dari ulama Hijaz atau Irak, lalu menyusunnya menjadi pola baru yang koheren tanpa kontradiksi.
Pada masa sebelum istiqrār al-fiqh , ketika ushul fikih dan kaidah istidlal masih berada pada tahap pembentukan, para imam mujtahid memiliki ruang untuk menyusun, merumuskan, dan mengintegrasikan perangkat istidlal sesuai pembacaan mereka terhadap dalil dan realitas. Pada tahap inilah Imam Syafi‘i dapat mensintesis kekuatan metodologis Ahl al-Hadits dengan ketajaman analitis Ahl al-Ra’yi , sehingga lahir struktur baru yang mandiri dan koheren. Semua itu terjadi karena bangunan metodologi kala itu masih dinamis dan terbuka.
Akan tetapi, setelah mazhab-mazhab besar mencapai fase istiqrār , yakni ketika perangkat metodologis, prinsip-prinsip istidlal, qawa‘id, dan dhawabit telah sempurna dan menyatu, maka menyusun kembali mazhab baru atau meramu ulang kaidah dengan menggabungkan kaidah dari mazhab lain tidak lagi memungkinkan. Setiap mazhab telah memiliki sistem internal yang terpadu, di mana setiap kaidah berhubungan dengan kaidah lainnya dan tidak dapat dipindahkan begitu saja seperti komponen mekanis yang berdiri sendiri.
Karena itu, upaya sebagian ulama kontemporer yang mencoba melakukan tarjih antar mazhab tanpa memahami keterpaduan struktural masing-masing mazhab sering berujung pada kontradiksi atau kekacauan metodologis. Mereka mungkin mengambil satu prinsip istidlal dari mazhab A lalu menggabungkannya dengan hasil analogi dari mazhab B, tanpa menyadari bahwa prinsip dari mazhab A tidak kompatibel dengan kaidah lain yang menopang hasil istinbath mazhab B. Hasilnya, hukum tampak logis di permukaan tetapi cacat secara metodologis karena lahir dari pendekatan istidlal yang saling bertentangan.
Dengan demikian, perbedaan antara masa sebelum istiqrār dan sesudahnya bukanlah perbedaan kapasitas intelektual, tetapi perbedaan struktur metodologis. Pada masa awal, bangunan ushul belum final sehingga memungkinkan munculnya mazhab-mazhab baru dengan pendekatan independen. Sedangkan pada masa setelah istiqrār , struktur mazhab telah mencapai bentuk sempurna sehingga ruang ijtihad bergeser dari penyusunan mazhab baru menuju ijtihad fi al-mazhab , yaitu menggali hukum dari dalil syar‘i sambil tetap berpegang pada kaidah dan manhaj istidlal mazhab yang telah mapan.
Salah satu fenomena aneh yang muncul saat ini adalah upaya mentarjih mazhab-mazhab pada setiap masalah. Metode seperti ini sering melahirkan perpaduan pendapat yang kontradiktif satu sama lain.
Sebagai contoh, ada sebagian kalangan modern yang memilih pendapat Abu Hanifah dalam zakat pertanian bahwa tidak ada nisab . Menurut Hanafiyah, hasil pertanian tidak memiliki nisab , jika tanah menghasilkan, maka wajib dikeluarkan zakat , sepersepuluh atau seperdua puluh, kecil atau besar hasilnya.
Dalil umum mereka adalah firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian.”
Kata mimmā dalam ayat ini bersifat umum yang dalalahnya qath‘i. Maka keumuman ini tidak dapat ditakhsis dengan hadis āḥād:
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
“Tidak ada kewajiban zakat pada hasil kurang dari lima wasaq.” (HR. Bukhari)
Tokoh kontemporer tersebut memilih pendapat Hanafiyah dengan alasan lebih maslahah bagi fakir miskin. Pendapat Hanafiah dinilai membuka peluang zakat yang lebih luas tanpa batas nisab lima wasaq .
Namun pada masalah lain, seperti radha‘ (susuan) yang menyebabkan terbangunnya hubungan mahram, orang yang sama memilih pendapat Syafi‘iyah berdasarkan hadis, meskipun hal itu bertentangan dengan pendekatan mereka sebelumnya terhadap takhsis.
Allah berfirman:
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ
“Dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian.”
Ayat ini umum. Menurut Hanafiyah, sedikit atau banyak susuan tetap menyebabkan hubungan mahram. Keumuman ayat tidak bisa ditakhsis dengan hadis Aisyah tentang lima kali susuan. Sementara Mazhab Syafi‘i berpandangan bahwa hubungan mahram baru terjadi dengan lima kali susuan yang mengenyangkan sebagaimana hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
كان فيما أنزل من القرآن: عشر رضعات معلومات يحرمن، ثم نسخن بخمس معلومات
Sebagian ulama kontemporer memilih pendapat Syafi‘iyah dalam hal ini dengan alasan lebih maslahah, dimana masyarakat sulit mengingat siapa saja yang sudah menjadi mahram jika setiap susuan sedikit saja sudah menyebabkan mahram . Mereka berdalih pendapat Syafi‘iyah lebih rajih karena ada hadis sahih dan sesuai dengan maslahah , padahal dalam masalah zakat pertanian, mazhab Syafi‘i juga berdalil dengan hadis sahih untuk menetapkan nisab.
Cara tarjih seperti ini menggunakan prinsip metodologis yang saling bertentangan, pada satu masalah hadis tidak diterima untuk mentakhsis ayat, pada masalah lain hadis diterima. Inilah kontradiksi akibat meramu mazhab tanpa kaidah. Tarjih semacam ini menunjukkan bahwa pelakunya tidak memiliki panduan baku dalam memahami hubungan dalalah ‘ām terhadap afrad nya, apakah qath‘i atau zhannī , serta apakah hadis āḥād dapat menjadi mukhassis atau tidak.
Ketika seorang murid belajar fikih kepada guru semacam itu, ia hanya akan menghafal “jawaban masalah”, bukan “kaidah”. Jika gurunya wafat dan muncul masalah baru, murid itu tidak memiliki prinsip umum untuk mengistinbath hukum. Apa yang ia pelajari bukanlah manhaj yang konsisten, tetapi kumpulan fatwa yang saling bertentangan dalam kaidah. Di sinilah fikih benar-benar menjadi stagnan, tidak ada panduan baku untuk menemukan kesimpulan hukum yang konkrit.
Maka jelaslah bahwa para ulama tidak membangun mazhab baru bukan karena menutup kreativitas, tetapi karena secara ilmiah memang tidak mungkin lagi menyusun sistem kaidah baru tanpa menabrak keterpaduan epistemik yang telah mapan. Empat mazhab bertahan bukan karena fanatisme, tetapi karena mereka memahami bahwa cara beragama seperti ini memiliki struktur metodologis yang konsisten, lengkap, dan dapat diwariskan dari generasi ke generasi sehingga memastikan fikih terus hidup dan berkembang.
[Fawaid Ilmiah yang Kami catat dari apa Yang Disampaikan oleh Dr. Hamzah El Bekry]
Muhammad Iqbal Jalil✨ Ringkasan Singkat: Kenapa Tidak Ada Mazhab Fikih Baru?
- Pintu ijtihad tidak pernah tertutup; yang berubah hanyalah bentuknya: dari ijtihad mutlak ke ijtihad di dalam mazhab.
- Empat mazhab besar sudah punya struktur metodologis yang lengkap dan terpadu; kaidah-kaidahnya saling terikat.
- Mencoba meramu “mazhab baru” atau mencampur kaidah antar mazhab tanpa paham strukturnya sering melahirkan kontradiksi metodologis.
- Belajar fikih tanpa manhaj mazhab bikin orang cuma hafal fatwa, bukan kaidah istinbath, sehingga fikih justru mandek.
- Para ulama mempertahankan empat mazhab bukan karena fanatik, tapi karena itulah cara paling ilmiah menjaga kelanjutan dan konsistensi fikih.
- Mujtahid Mutlak → Ulama yang menyusun sendiri manhaj/usul fikihnya dan berijtihad langsung dari dalil-dalil.
- Istiqrār al-fiqh → Fase ketika mazhab-mazhab fikih sudah mapan, lengkap, dan strukturnya stabil.
- Ijtihad fi al-mazhab → Menggali hukum dari Al-Qur’an & Sunnah dengan tetap memakai kaidah mazhab tertentu.
- Istinbath → Proses mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalilnya.
- Tarjih → Memilih pendapat yang paling kuat di antara beberapa pendapat ulama.
- ‘Ām → Lafal umum yang mencakup banyak individu (misal: “manusia”, “orang-orang beriman”).
- Qath‘i → Dalil/pemahaman yang pasti dan tidak mengandung kemungkinan makna lain yang kuat.
- Zhannī → Dalil/pemahaman yang kuat tapi masih mengandung kemungkinan makna lain (tidak 100% pasti).
- Takhsis → Mengkhususkan lafal umum dengan dalil lain (misal: ayat umum dijelaskan lebih sempit oleh hadis).
- Hadis āḥād → Hadis yang diriwayatkan oleh sedikit perawi, derajatnya zhannī meski bisa sahih.
Apakah pintu ijtihad sudah tertutup?
Tidak. Ijtihad tetap berlangsung, tapi mayoritas dilakukan fi al-mazhab: menggali hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah dengan kaidah mazhab yang sudah mapan.
Kenapa tidak bikin mazhab baru saja?
Karena kaidah ushul dan manhaj empat mazhab sudah menyatu jadi satu sistem utuh. Menyusun mazhab baru dengan mencampur kaidah secara bebas justru merusak keterpaduan itu dan melahirkan hukum yang kontradiktif.