Saat Sang Ulama Menangis: Krisis Hati Imam al-Ghazali

Baghdad pagi itu gemerlap.

Para pelajar berdesakan di depan madrasah Nizamiyyah. Di atas mimbar, duduk seorang lelaki dengan jubah kebesaran ulama. Lisannya fasih, hujahnya tajam, dan namanya menggema di seluruh negeri: Imam Abu Hamid al-Ghazali.

Namun di balik sorot mata para murid yang kagum, tersimpan sesuatu yang tak mereka lihat — sebuah kekosongan yang perlahan tumbuh di dada sang guru.

Di setiap akhir majelis, ketika semua orang pergi, ia duduk lama memandangi tinta yang menetes di ujung kalam. “Apakah ini benar karena Allah?” bisiknya lirih dalam hati. Ia bicara tentang keikhlasan, tapi hatinya mendengarkan suara lain — suara halus yang bertanya, “Apakah engkau mencari wajah-Ku, atau mencari tepuk tangan mereka?”

Malam-malamnya menjadi sunyi yang berat. Ia bangun untuk tahajjud, namun air matanya tak lagi hangat. Segala yang dulu manis kini hambar. Dan dalam kebingungan itu, Allah mencabut kefasihan dari lidahnya. Suatu hari, ia berdiri di hadapan para pelajar, namun tak ada satu kata pun keluar. Lidahnya kelu, suaranya hilang. Ia hanya menatap kosong, sementara hatinya bergemuruh: “Engkau mengajar tentang jalan menuju-Ku, tapi engkau sendiri belum menempuhnya.”

Maka ia tinggalkan semuanya. Baghdad yang ramai, mimbar yang tinggi, pujian yang mengiringi. Ia pergi tanpa pamit, hanya meninggalkan sepucuk surat. Dunia mengira al-Ghazali sakit, padahal ia sedang sembuh — dari penyakit hati yang paling halus: cinta pada dunia.

Ia berjalan jauh, menembus kota demi kota. Di Damaskus ia berdiam di menara Masjid Umayyah, menulis dan menangis dalam diam. Di Baitul Maqdis ia sujud lama, mencari kembali wajah yang pernah hilang dari hatinya.

  • Sepuluh tahun berlalu.
  • Sepuluh tahun dalam sunyi,
  • namun penuh cahaya.

Di sanalah lahir kalimat yang mengguncang dunia: “Aku mencari kebenaran, dan kutemukan setelah aku kehilangan diriku sendiri.”

Ia menulis Ihya’ ‘Ulum ad-Din, bukan sebagai seorang ulama yang mengajar, tapi sebagai seorang hamba yang akhirnya menemukan Allah di antara air matanya. Ketika akhirnya kembali ke kampung halamannya di Ṭhus, al-Ghazali tak lagi ingin dikenal. Ia mengajar anak-anak, berkebun, dan menulis di waktu fajar. Dan pada suatu pagi, setelah berwudhu dan shalat dua rakaat, ia tersenyum, menatap muridnya, dan berkata lembut: “Panggilan telah datang.”

Ia pun pergi dengan tenang, meninggalkan dunia yang pernah ia tinggikan, dan kembali kepada Tuhan yang tak pernah meninggalkannya. Kini, berabad-abad setelahnya, kita membaca kisahnya dan mungkin bertanya: mengapa seorang alim sebesar itu bisa menangis? Karena ia tahu, bahwa bahaya terbesar bagi seorang pencari ilmu bukan kebodohan — melainkan keakuan. Dan hanya mereka yang pernah kehilangan dirinya, yang akhirnya benar-benar menemukan Allah.

Maka ketika engkau merasa hampa di tengah ilmu, ingatlah al-Ghazali:
bahwa mungkin, kehampaan itu bukan kutukan, melainkan panggilan lembut dari Allah agar engkau kembali.
Ada saat ketika ilmu menuntun pada kemegahan. Tapi hanya air mata yang menuntun pada kebenaran.”


📜 Catatan Biografis Imam al-Ghazali

Nama Lengkap dan Gelar:

  • Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi‘i (أبو حامد محمد بن محمد الغزالي الطوسي الشافعي).
  • Lahir: Tahun 450 H / 1058 M di Thus, wilayah Khurasan (Iran sekarang).
  • Wafat: Tahun 505 H / 1111 M di Thus juga.
  • Dikenal dengan gelar Hujjatul Islam (Argumen Islam) — gelar kehormatan tertinggi bagi ulama yang berjasa membela Islam dengan hujah dan akal.

Ikuti Kaffah Media di Telegram

Dapatkan artikel dakwah, kajian, dan berita Islami terbaru langsung di ponsel Anda.

Telegram Gabung ke Kanal Kami
atau kunjungi www.kaffahmedia.web.id

✦ Kaffah Media — Wawasan, Dakwah, Kajian, dan Berita Islami ✦

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak