Pernahkah kamu berdiri sejenak, memandangi anakmu atau anak siapa saja lalu tiba-tiba muncul rasa ganjil: “Makhluk kecil ini… akan menjadi seseorang suatu hari nanti.” Kita sering menyebut kalimat itu sambil lalu, tetapi kalau direnungkan lebih dalam, kalimat itu mengandung sesuatu yang menggetarkan. Sebab di balik matanya yang polos, sedang tumbuh sebuah dunia. Dan dunia kecil itu menjiplak apa pun yang ia lihat pada kita.

Kita mengira mendidik itu soal memasukkan mereka ke sekolah favorit, mengikuti kurikulum populer, atau menyiapkan masa depan yang ‘mapan’. Namun taruhannya jauh lebih besar dari itu. Setiap pilihan kita hari ini, sekecil apa pun, menulis sesuatu di dalam diri mereka sesuatu yang tak akan hilang bahkan setelah kita tiada.

“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
— QS. At-Tahrim: 6

Ayat itu tidak datang sebagai nasihat manis. Ia datang sebagai alarm. Sebagai pengingat bahwa mendidik keluarga bukan sekadar tugas moral, tetapi perisai pertama yang menentukan keselamatan kita sendiri. Jalan pulang kita ke hadapan Rabb bukan ditentukan oleh apa yang kita kumpulkan di dunia, tapi apa yang kita bentuk di rumah.

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.”
— HR. Bukhari & Muslim

Kalimat Rasulullah ﷺ itu seperti meletakkan cermin tepat di hadapan kita. Tidak ada ruang untuk kabur. Tidak ada alasan untuk ‘tidak sempat’ atau ‘tidak tahu’. Apa yang tumbuh dari anak-anak kita adalah bagian dari hisab kita.

Inilah alasan rubrik ini ada. Bukan untuk mengejar popularitas, bukan untuk menghadirkan trik-trik cepat, dan bukan untuk menjadi satu lagi “konten parenting” yang berlalu begitu saja. Rubrik ini lahir dari keprihatinan. Dari kesadaran bahwa terlalu banyak orang tua berjalan tanpa arah, padahal satu langkah saja bisa mengubah hidup anak dan hidup kita di akhirat kelak.

Di sini kita belajar bukan sekadar bagaimana membesarkan anak, tetapi bagaimana menuntun jiwa. Bagaimana menumbuhkan akal yang jernih, adab yang lembut, dan keberanian yang hidup. Bagaimana menjadikan rumah sebagai tempat bertumbuh, bukan sekadar tempat tinggal. Karena pada akhirnya, mendidik tidak pernah sesederhana mengajarkan. Ia adalah proses menanam pohon yang kelak menaungi kita pada saat paling kita butuhkan.

Rubrik ini tidak hanya akan berbicara tentang teknik mengatur layar gawai, memilih sekolah, atau menyusun jadwal harian. Lebih dari itu, kita akan menata kembali dari mana semua keputusan itu diambil. Standar apa yang kita pakai ketika berkata “ini baik untuk anakku” dan “ini tidak layak masuk ke rumahku.” Di sinilah kita mengembalikan pengasuhan kepada akar: aqidah, syakhshiyyah, dan keberpihakan kepada Islam sebagai cara hidup.

Kita akan melihat diri kita bukan sekadar sebagai orang tua yang sibuk bekerja dan mengurus rumah, tapi sebagai murabbi: hamba Allah yang dititipi jiwa-jiwa kecil untuk disiapkan menjadi bagian dari umat terbaik. Kita akan belajar memandang setiap obrolan di ruang tamu, setiap teguran di meja makan, setiap doa sebelum tidur, sebagai bagian dari perjuangan panjang menegakkan kehidupan Islam dimulai dari dalam rumah kita sendiri.