Kita Bukan Kalah

Kita Bukan Kalah — KafahMedia

Sebuah seruan pelan namun tak tergoyahkan untuk menoleh, menimbang, dan bertanya kembali kepada diri: apakah arah kita masih selaras dengan tujuan hakiki, atau kita diam-diam telah digiring untuk rida hidup di bawah aturan selain syariat Allah?

Ada saat ketika kita harus berhenti sejenak dari semua kebisingan dunia, dan menatap diri sendiri dengan jujur: umat ini sebenarnya bukan kalah… kita sedang tersesat. Dan yang paling berbahaya dari sebuah penyesatan adalah ketika ia terasa seperti hal biasa yang tidak perlu dipertanyakan.

Kita berjalan, berlari, bekerja, sibuk, produktif, berdiskusi, membuat konten, memperdebatkan tren baru… seolah-olah semua ini sudah punya arah. Padahal di balik semua gerak itu, ada kekosongan halus yang tidak banyak kita berani sentuh: sebuah umat besar yang lupa membuka peta yang diturunkan untuknya. Kita lupa bahwa peta itu bukan sekadar untuk memperbaiki moral pribadi, tetapi untuk mengatur seluruh kehidupan: politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan seluruh urusan manusia.

Peta itu tidak hilang. Masih ada. Masih utuh. Tapi kita terlalu percaya diri berjalan mengikuti kerumunan. Terlalu yakin bahwa ramainya sebuah jalan berarti itulah arah yang benar. Seakan-akan tujuan bisa ditentukan oleh jumlah, bukan petunjuk. Kita rela diatur undang-undang buatan manusia, lalu merasa cukup “islami” hanya dengan menjaga beberapa ritual pribadi.

Dulu, umat Islam bergerak dengan kejelasan. Mereka tidak banyak, tapi mereka tahu dari mana mereka berasal, untuk apa mereka hidup, dan ke mana mereka akan kembali. Tiga simpul besar itu Uqdatul Qubro menjadi pusat gravitasi yang membuat langkah mereka mantap, keputusan mereka tegas, dan hidup mereka menyala. Dari akidah itu lahirlah keberanian untuk menolak berhukum kepada selain Allah, dan kesiapan untuk menegakkan syariah secara menyeluruh dalam bingkai kekuasaan Islam.

Sekarang, kita tahu banyak teori, tapi mengerti sedikit makna. Kita pintar menganalisis, tapi lemah memahami. Kita mengoleksi informasi, tapi kehilangan orientasi. Kita hafal istilah “rahmatan lil ‘alamin”, tapi rida ketika hukum Allah dipinggirkan dari ranah publik dan diganti prinsip-prinsip sekular yang memisahkan agama dari urusan negara.

Kadang terasa seperti kipas angin yang muter kenceng: lincah, cepat, bising, tapi tetap di tempat yang sama. Kita bergerak, tapi tidak pulang ke mana-mana. Dakwah ada, kajian ramai, komunitas terbentuk, tapi sistem hidup yang mengatur kita tetap saja sistem yang lahir dari akal manusia, bukan dari wahyu.

Standar hidup pun semakin cair. Bukan wahyu yang menjadi kompas, melainkan mood, mayoritas, trending topic, dan preferensi pribadi. Hari ini tabu, besok normal. Hari ini salah, besok jadi benar. Kita menjadi umat yang terbiasa merelakan prinsip hanya agar tidak terlihat “kaku”, bahkan ketika itu berarti menyesuaikan diri dengan aturan yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat.

Pelan-pelan, kita membiarkan perasaan mengambil alih peran syariat. Dan di saat itu, kita sebenarnya sedang berjalan tanpa arah, tapi dengan sangat percaya diri. Kita bicara keadilan, tapi enggan kembali pada sumber hukum yang Mahasempurna. Kita mengutuk korupsi, kezaliman, dan ketimpangan, tapi tetap mempertahankan sistem yang melahirkan semuanya.

Namun ada satu realitas yang jarang kita akui: kita bukan kalah. Kalah itu urusan angka, statistik, geopolitik. Masalah kita jauh lebih sunyi dari itu. Kita tersesat, dan itu masalah akidah, visi, dan makna. Kita kehilangan jawaban atas pertanyaan paling dasar yang pernah membuat peradaban ini berdiri kokoh. Ketika akidah tidak lagi melahirkan keberanian politik untuk berhukum kepada Allah, saat itulah umat mulai menerima kekalahan sebagai “takdir”, padahal sejatinya ia hasil dari pilihan untuk meninggalkan syariah sebagai sistem hidup.

Dan anehnya, di tengah segala kekacauan dunia, kita tetap merasa baik-baik saja. Kita hidup di zaman ketika umat lebih rajin memperbaiki feed Instagram daripada memperbaiki arah hidup. Lebih takut kehilangan followers daripada kehilangan petunjuk. Lebih peduli pada penilaian manusia daripada penilaian Yang Maha Melihat. Bahkan sebagian menjadikan Islam sekadar identitas kultural: cukup dengan simbol, tanpa merasa perlu memperjuangkan tegaknya syariah secara kaffah.

Pertanyaan kecil untuk mengguncang arah:

  • Selama ini aku lebih sibuk memperbaiki citra atau memperjuangkan tegaknya hukum Allah?
  • Lebih besar mana pengaruh “opini mayoritas” dibandingkan dalil yang sudah jelas di hadapan saya?
  • Apakah aku benar-benar percaya bahwa tanpa sistem Islam, luka umat tidak akan pernah sembuh tuntas?

Tapi kabar baik itu selalu datang bersama kejujuran: umat yang tersesat bukan umat yang mati. Selama peta itu masih ada, selama wahyu itu masih terbuka, selama simpul-simpul besar kehidupan itu masih diajarkan para ulama… selalu ada jalan pulang. Dan jalan pulang itu bukan hanya taubat personal, tetapi juga keberanian kolektif untuk kembali menjadikan syariah sebagai hukum yang mengatur masyarakat dan negara.

Jalan pulang itu dimulai dari keberanian untuk menunduk, dan bertanya dengan suara paling jujur yang bisa keluar dari seorang hamba:

Aku ini dari mana? Untuk apa aku hidup? Dan ke mana aku akan kembali?

Pertanyaan yang sederhana, tapi mampu mengguncang seorang manusia dari akar jiwanya. Jika dijawab dengan jujur, ia mampu mengembalikan arah umat yang selama ini berjalan tanpa kompas. Sebab jawaban yang benar atas tiga pertanyaan itu pasti berujung pada satu konsekuensi: bahwa hidup ini tidak boleh diatur kecuali oleh Dzat yang menciptakan kita. Bahwa hukum-Nya lebih layak diikuti daripada produk buatan akal manusia, siapapun dia.

Kita bisa saja melanjutkan hidup seperti biasa: sibuk, aktif, produktif, terlibat dalam segala hal yang tampak penting. Tapi tanpa menjawab tiga simpul ini, semua hanya menjadi gerak tanpa makna: ramai di luar, sepi di dalam. Kita menjadi umat yang puas dengan perbaikan tambal sulam di dalam sistem sekular, tetapi tidak pernah sungguh-sungguh memikirkan bagaimana menegakkan kembali tatanan hidup yang bertumpu pada akidah yang sahih.

Sebab pada akhirnya, arah itu akan selalu menuntut bentuk. Akidah yang sahih menuntut lahirnya sistem hidup yang sesuai: ada negara yang berhukum dengan wahyu, ada penguasa yang tunduk pada syariat, ada umat yang bersedia memikul amanah dakwah dan jihad untuk menjaga semua itu. Tanpa bentuk itu, kita hanya akan terus berbicara tentang “kejayaan Islam” dalam bentuk slogan, sementara realitas hukum di bumi tetap dikuasai aturan manusia.

Karena itu, pertanyaan yang perlu kita ulang setiap hari bukan hanya, “Bagaimana caranya menang?” tetapi: “Di pihak mana aku berdiri dalam perjuangan menegakkan hukum Allah? Apakah aku sedang mempertahankan status quo, atau ikut bergerak meski pelan—untuk mengembalikan syariah sebagai satu-satunya rujukan hukum di tengah umat?”

Sebab umat yang tahu tujuannya tidak perlu suara keras untuk mengguncang dunia; cukup kejelasan arah, dan sejarah akan bergerak mengikuti mereka. Dan kejelasan arah itu hari ini bermakna satu hal: berani mengakui bahwa tersesatnya kita berawal dari meninggalkan hukum Allah, dan pulangnya kita hanya mungkin dengan kembali memperjuangkan tegaknya syariah-Nya secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.

Jika kita sungguh mengakui bahwa masalah utama umat adalah tersesat dari peta wahyu, maka berbicara tentang syariah dan khilafah bukanlah romantisme masa lalu, tapi pembicaraan paling realistis tentang masa depan.

Inilah saatnya kita menggeser cara pandang: dari sekadar bertahan hidup dalam sistem yang tidak dibangun di atas akidah Islam, menuju perjuangan mengembalikan kehidupan Islam (isti’naf al-hayah al-islamiyah) di bawah naungan aturan Allah.

Perjuangan itu memang panjang, bertahap, dan menuntut ilmu, ketulusan, serta jamaah yang terikat pada proyek yang sama. Tapi di situlah letak kehormatan kita sebagai umat: bukan pada seberapa keras kita mengeluh tentang kondisi hari ini, tetapi seberapa jauh kita mengambil posisi dalam barisan yang memperjuangkan tegaknya hukum Allah.

Langkah kecil setelah membaca:

  • Mulai kembali menguatkan akidah dan cara pandang hidup berbasis Uqdatul Qubro.
  • Menghidupkan diskusi serius tentang syariah sebagai sistem, bukan hanya ritual.
  • Mendekat kepada jamaah dakwah yang konsisten memperjuangkan penerapan syariah kaffah.

Sebab perubahan besar selalu dimulai dari sekelompok kecil orang yang menolak pasrah pada arah yang salah, dan berani kembali memegang peta yang benar.

Micro Worksheet: Posisi dan Arahmu

Pilih jawaban yang paling mendekati kondisimu hari ini. Jujur pada diri sendiri jauh lebih penting daripada “terlihat baik”.

1. Saat melihat realitas umat dan negeri hari ini, apa yang paling sering terlintas di pikiranmu?

2. Sejauh mana syariah kamu jadikan cara pandang saat menilai masalah-masalah publik (politik, ekonomi, hukum)?

3. Ketika mendengar seruan penegakan syariah dan khilafah, respon jujurmu yang paling sering muncul?

🤲 Dukung Kaffah Media Bantu jaga dakwah dan konten ideologis tetap berjalan.
📡 Ikuti Saluran Kaffah Media Semua artikel baru & catatan ideologis langsung ke perangkatmu. Tanpa tergantung algoritma.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak