K adang kita sibuk ingin tampak tahu, tapi lupa menjadi pembelajar. Ingin dianggap paham, tapi jarang benar-benar memahami. Inilah penyakit halus yang tumbuh di balik ilmu dan opini keangkuhan yang berbalut logika, namun menutupi hati dari cahaya kebenaran.
Kita ingin tampak cerdas, bukan selalu karena mencari kebenaran, tapi karena takut terlihat bodoh. Maka kita berbicara lebih banyak daripada mendengar, berdebat lebih sering daripada merenung. Padahal, di balik semua itu, ada kesombongan halus yang tak kita sadari: merasa cukup tahu, padahal baru menyentuh permukaan dari samudra ilmu Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ
“Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya.”
(HR. Abu Dawud)
Betapa banyak majelis ilmu yang sunyi dari pertanyaan bukan karena semua paham, tetapi karena semua gengsi. Di grup diskusi, orang lebih cepat menulis opini daripada menundukkan hati untuk memahami. Ilmu menjadi ajang adu pendapat, bukan lagi jalan menuju kebenaran.
Padahal Imam Syafi’i رحمه الله telah mengingatkan:
مَنْ كَثُرَ كَلَامُهُ فِيمَا لَا يَعْنِيهِ حُرِمَ الصِّدْقَ، وَمَنْ نَظَرَ فِي عُيُوبِ النَّاسِ نُسِيَ عَيْبُ نَفْسِهِ، وَمَنْ أُعْجِبَ بِرَأْيِهِ ضَلَّ
“Siapa yang banyak berbicara tentang hal yang tak bermanfaat, akan terhalang dari kebenaran. Siapa yang sibuk mencari aib orang lain, akan lupa aib dirinya. Dan siapa yang kagum pada pendapatnya sendiri, maka ia telah sesat.”
Perhatikan betapa liciknya ujub (kagum diri). Ia menyelinap ke hati para penuntut ilmu, para dai, bahkan para ulama. Seseorang bisa berbicara panjang tentang keikhlasan, tapi di baliknya ingin dipuji. Bisa fasih menafsir ayat, tapi tak sanggup menundukkan ego ketika dikritik. Padahal ilmu sejati tak tumbuh di kepala yang penuh, melainkan di hati yang tunduk.
Sering kali kesesatan tidak datang dari kebodohan murni, tapi dari sedikit ilmu yang dibungkus kesombongan. Orang baru membaca satu buku filsafat, lalu menertawakan para ulama klasik. Murid baru belajar tafsir, lalu menganggap ustadz lain keliru. Padahal ilmu tanpa adab hanyalah fatamorgana kebenaran.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
كُلَّمَا ازْدَادَ الْعَبْدُ عِلْمًا بِاللَّهِ ازْدَادَ تَوَاضُعًا وَخَشْيَةً
“Semakin bertambah ilmu seseorang tentang Allah, semakin bertambah kerendahan hati dan rasa takutnya kepada-Nya.”
Orang berilmu yang sejati tidak tergesa menghakimi. Ia berhenti sebelum berbicara, menimbang sebelum menilai, mendengarkan sebelum menanggapi. Baginya, kebenaran bukan soal menang atau kalah dalam debat, melainkan apakah Allah ridha dengan ucapannya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Siapa yang merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan meninggikannya.”
(HR. Muslim)
Bayangkan jika umat ini kembali meneladani adab itu berilmu tapi rendah hati, berpendapat tapi mau dikoreksi, berdiskusi tapi tetap beradab. Majelis ilmu tak lagi jadi gelanggang ego, dunia maya tak lagi gaduh oleh debat tanpa ruh. Karena ilmu tanpa akhlak hanyalah kebisingan yang membutakan hati.
Allah ﷻ menegaskan:
وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Dan di atas setiap orang yang berpengetahuan, masih ada Yang Maha Mengetahui.”
(QS. Yusuf: 76)
Ayat ini menampar kesombongan halus dalam diri kita. Tidak peduli seberapa banyak buku dibaca, gelar dikumpulkan, atau pengikut diraih selalu ada yang lebih tahu, dan di atas semua itu: Allah Yang Maha Mengetahui.
Maka, bila suatu hari engkau merasa paling paham, paling benar, atau paling berilmu berhentilah sejenak. Tundukkan pandanganmu, istighfarlah Mungkin itu tanda Allah sedang memperingatkan: hati kita mulai jauh dari rasa butuh kepada-Nya.
“Ingatlah ilmu tanpa adab dan kerendahan hati’ adalah api tanpa kendali. Ia bisa menerangi, tapi juga bisa membakar pemiliknya.Dan hanya hati yang tunduk yang mampu menampung cahaya ilmu tanpa terbakar olehnya
#RuangTumbuh
Ikuti Kaffah Media di Telegram
Dapatkan artikel dakwah, kajian, dan berita Islami terbaru langsung di ponsel Anda.
