Imam As-Sya’bi rahimahullah pernah berada dalam sebuah situasi yang, kalau terjadi hari ini, mungkin sudah memicu debat panjang di kolom komentar. yakni Ada seorang lelaki yang mencela beliau habis–habisan.
وسمع الشعبى رَجُلاً وقعَ فيه، فما ترك شيئاً
Namun As-Sya’bi hanya diam. Dan ketika lelaki itu selesai, beliau berkata:
إن كنتَ صادقاً فغفر الله لي، وإن كنت كاذباً فغفَر الله لك
“Kalau apa yang kau katakan itu benar, semoga Allah mengampuniku. Tapi kalau kau berdusta, semoga Allah memaafkanmu.” (Majma’ al-Amtsâl, 2/461)
Meski begitu, ketika ada yang bertanya aneh-aneh, di situlah komentar As-Sya’bi bisa terasa pedas namun cerdas.
Imam asy Sya’bi pernah ditanya tentang hukum memakan daging syetan, maka beliau menjawab:
سئل الشعبي عن لحم الشيطان فقال: نحن نرضى منه بالكفاف
“Tentang daging setan? Kami sudah cukup dengan rezeki yang Allah beri.”
maka ditanyakan lagi: apa pendapat engkau tentang hukum memakan lalat?, beliau menjawab: “Jika engkau suka, makanlah”. (Tadzkiroh al Hamduniyyah, 9/376).
فقيل له: ما تقول في [أكل] الذباب؟ قال: إن اشتهيته فكله
“Kalau kamu suka makan lalat, silakan makan.” (Tadzkiroh al-Hamduniyyah, 9/376)
Kenapa Bisa Berbeda?
As-Sya’bi sangat sabar ketika dirinya yang diserang, namun bisa tegas saat agama disepelekan. Karena bagi beliau, harga diri pribadi kecil nilainya dibanding kehormatan agama.
Rasulullah ﷺ juga mencontohkan hal serupa. Pernah seorang Arab dusun menarik selendang Nabi dengan kasar hingga membekas di leher beliau, lalu berkata:
يَا مُحَمَّدُ أعْطِني مِنْ مَالِ اللهِ الَّذِي عِنْدَكَ
“Wahai Muhammad, berikan kepadaku harta Allah yang ada padamu.”
Rasulullah ﷺ menoleh, tersenyum, dan memerintahkan Anas untuk memberinya sesuatu. (HR. Bukhari)
Sabar dengan Cara Marah
Marah juga bisa menjadi bentuk kesabaran, sabar untuk menaati perintah Allah, termasuk perintah untuk marah dalam situasi tertentu, terutama ketika agama diselewengkan atau umat disusahkan.
Banyak riwayat menunjukkan Rasulullah ﷺ marah pada waktunya:
- Saat Ali r.a memakai sutra
- Saat Muadz r.a memperpanjang salat hingga memberatkan jamaah
- Saat amil zakat menerima “hadiah” dari masyarakat
- Saat hukum hendak dipermainkan
- Saat kaum munafik membangun masjid dhirâr untuk mengacaukan Islam
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فاشْقُقْ عَلَيْهِ
“Ya Allah, siapa pun yang mengurusi urusan umatku lalu menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia.” (HR. Muslim)
Ketika Islam yang Dihina
Jika yang dihina adalah agama; narasinya dipelintir, opini palsu disebarkan, persepsi direkayasa hingga tampak seperti fakta—di kondisi inilah seorang mukmin harus marah. Dan jika tidak mampu marah, hendaknya berusaha untuk marah.
مَنِ اسْـتُغْضِبَ وَ لَمْ يَغْضَبْ فَهُوَ حِمَارٌ
“Siapa yang dibuat marah namun tidak marah, maka ia seperti keledai.” (Hilyatul Awliya’, 9/143)
Kemarahan itu pun harus tetap dalam koridor syariat: melawan opini dengan opini, ide dengan ide, membongkar rekayasa, dan menguatkan umat. Bukan dengan anarki.
Allâhu A‘lam.
Ikuti Kaffah Media di Telegram
Dapatkan artikel dakwah, kajian, dan berita Islami terbaru langsung di ponsel Anda.
✦ Kaffah Media — Wawasan, Dakwah, Kajian, dan Berita Islami ✦
