Work–Life Balance dan Upah Murah:
Keseimbangan yang Mustahil dalam Sistem UMR

Oleh KaffahMedia Analisis Sosial & Peradaban

Bagaimana mungkin berbicara tentang keseimbangan hidup, jika bekerja penuh waktu saja tidak cukup untuk hidup?

Gagasan work–life balance sering dipromosikan sebagai solusi kelelahan hidup modern. Namun wacana ini menjadi problematis ketika dihadapkan pada realitas paling dasar: upah kerja yang tidak cukup untuk hidup layak.

Di Indonesia, persoalan ini terpusat pada satu instrumen utama: UMR/UMP/UMK. Secara formal ia disebut “upah minimum kebutuhan hidup layak”. Namun dalam praktiknya, standar ini lebih sering menjadi batas aman bagi dunia usaha, bukan batas layak bagi manusia.

Di perkotaan, UMR kerap habis hanya untuk:

  • sewa tempat tinggal sederhana,
  • transportasi kerja,
  • makan untuk bertahan hidup,
  • tanpa ruang untuk tabungan, pendidikan, atau ketenangan.

Sosiolog Guy Standing menyebut kondisi ini sebagai lahirnya kelas precariat: pekerja yang bekerja terus-menerus, namun hidup dalam ketidakpastian permanen. Mereka tidak miskin karena malas, melainkan karena sistem upah yang memang dirancang minimalis.

Filsuf Byung-Chul Han menambahkan bahwa manusia modern kini mengeksploitasi dirinya sendiri. Target dan ambisi membuat kelelahan dianggap wajar, bahkan istirahat pun harus “produktif”.

“Manusia modern tidak lagi ditindas oleh orang lain, melainkan oleh dirinya sendiri.”
— Byung-Chul Han

Dalam perspektif Islam, kerja bukan pusat kehidupan, melainkan salah satu aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam rangka beribadah kepada Allah. Karena itu, Islam tidak pernah menilai manusia dari seberapa produktif ia secara ekonomi, melainkan dari ketaatan dan kemanfaatannya.

Islam menolak pandangan yang menjadikan kerja sebagai satu-satunya ukuran nilai manusia. Tubuh memiliki hak untuk beristirahat, keluarga memiliki hak atas kehadiran, dan jiwa memiliki hak atas ketenangan. Semua hak ini tidak boleh dikorbankan demi kepentingan ekonomi.

Dalam soal upah, Islam tidak berhenti pada prinsip “dibayar tepat waktu”, tetapi menekankan keadilan nilai upah. Upah harus memungkinkan pekerja memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak makan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan keluarganya bukan sekadar bertahan hidup.

Pemikir Muslim Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa keadilan upah tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Sebab pasar secara alami berpihak pada pemilik modal. Karena itu, negara wajib menjamin kebutuhan pokok rakyat, baik pekerja maupun yang tidak mampu bekerja.

Dengan jaminan kebutuhan dasar tersebut, upah tidak lagi berfungsi sebagai alat survival. Pekerja tidak dipaksa menerima pekerjaan dengan upah rendah hanya demi menyambung hidup. Dalam kondisi ini, hubungan kerja menjadi lebih manusiawi: upah adalah imbalan atas jasa, bukan harga dari keterpaksaan.

Inilah perbedaan mendasar Islam dengan sistem hari ini. Jika kapitalisme berusaha menyesuaikan hidup manusia dengan upah minimum, maka Islam menyesuaikan sistem ekonomi agar sejalan dengan fitrah manusia. Keseimbangan hidup bukan dicapai lewat manajemen waktu, tetapi melalui keadilan struktural.

Selama upah tidak cukup untuk hidup layak, work–life balance hanyalah manajemen kelelahan. Keseimbangan sejati hanya mungkin lahir dari sistem yang menempatkan manusia di atas keuntungan.

Selama ini, kita diajarkan mengelola waktu agar hidup seimbang. Namun jarang ada yang bertanya: mengapa hidup harus terus-menerus diatur agar cukup untuk sekadar bertahan?

Jika seseorang bekerja penuh waktu, tetapi upahnya tidak cukup untuk hidup layak, apakah masalahnya ada pada manajemen pribadinya atau pada sistem yang menormalisasi kekurangan?

Jika bekerja keras membuat seseorang semakin jauh dari keluarga, semakin lelah secara mental, dan semakin cemas soal masa depan, pantaskah kondisi itu disebut sebagai “keseimbangan hidup”?

Dan jika sebuah sistem membutuhkan manusia terus beradaptasi dengan ketidakadilan agar tetap berjalan, pertanyaannya sederhana: sistem itu melayani manusia, atau manusia yang melayani sistem?

UMR dan Realitas Kelayakan Hidup

Berikut gambaran kasar perbandingan upah minimum resmi dengan estimasi biaya hidup layak di beberapa wilayah. Angka ini bukan retorika, tapi potret keseharian pekerja.

Wilayah UMR / UMP 2025 Estimasi Biaya Hidup Layak
DKI Jakarta Rp 5,39 juta Rp 7–10 juta (lajang)
Rp 10–15 juta (keluarga)
Jawa Barat Rp 2,19 juta ± Rp 6–8 juta (keluarga kecil)
Jawa Tengah Rp 2,16 juta ± Rp 6–7 juta (keluarga kecil)
Bali Rp 2,99 juta Biaya hidup tinggi (wilayah wisata)
Rata-rata Nasional ± Rp 3,3 juta Kebutuhan hidup layak umumnya > Rp 7 juta

Catatan: Estimasi biaya hidup mencakup kebutuhan dasar (pangan, tempat tinggal, transportasi, pendidikan, kesehatan) dan merefleksikan kondisi realistis di lapangan, bukan sekadar standar minimum statistik.

Artikel ini bagian dari refleksi KaffahMedia tentang kerja, upah, dan martabat manusia.

Rekomendasi Bacaan

Produk

KITAB SISTEM EKONOMI ISLAM TERJEMAHAN

Buku Sistem Ekonomi Islam ini merupakan kekayaan pemikiran Islam yang sangat berharga dan amat langka. Sebab, buku ini merupakan buku pertama pada zaman sekarang, yang mampu menjelaskan fakta ekonomi Islam secara jelas dan gambling

Cek di Shopee
Produk

Buku Sistem ekonomi dunia

Buku Sistem ekonomi dunia yang ditulis dengan bahasa yang renyah dan mudah dipahami, cocok untuk pembaca umum.

Cek di Shopee
🤲 Dukung Kaffah Media Bantu jaga dakwah dan konten ideologis tetap berjalan.
📡 Ikuti Saluran Kaffah Media Semua artikel baru & catatan ideologis langsung ke perangkatmu. Tanpa tergantung algoritma.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak