Dalam dekade terakhir, struktur ekonomi global dan nasional mengalami pergeseran fondamental. Kapitalisme digital di mana platform menggantikan pabrik sebagai poros produksi telah mereformasi cara produksi, distribusi, dan kekuasaan ekonomi. Transformasi ini berimplikasi langsung pada struktur kelas pekerja: banyak orang beralih ke pekerjaan informal dan gig work, yang menimbulkan precariousness, hilangnya jaminan sosial, dan subordinasi struktural terhadap korporasi platform.
Data BPS 2025: proporsi pekerja informal ~59,40% (≈86,6 juta) — gambaran bahwa informalitas bukan sisa, melainkan inti pasar tenaga kerja.
Di Indonesia, perubahan itu tercermin pada data resmi. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, proporsi pekerja informal mencapai sekitar 59,40% dari total angkatan kerja sekitar 86,6 juta orang dari ±145,8 juta pekerja. Kondisi ini mempertegas bahwa sektor informal bukan lagi rezidu marginal, melainkan bagian utama pasar tenaga kerja nasional. Gig‑economy layanan ride‑hailing, kurir, marketplace, pekerjaan berbasis aplikasi menyatu dalam realitas ini dan menyumbang bagian signifikan dalam penyediaan penghidupan bagi jutaan orang.
Retorika dominante tentang gig work sering mengemukakan narasi fleksibilitas dan peluang. Namun penelitian empiris dan laporan internasional memetakan realitas lain: pekerja gig bekerja di bawah kendali algoritma yang memilah order, menetapkan kuota, dan memengaruhi kompensasi secara sepihak. Kendali algoritmik itu bersifat opak dan sulit diawasi; sedangkan pekerja, yang menanggung seluruh biaya modal operasional (kendaraan, bahan bakar, perawatan), tidak menikmati perlindungan sosial dan kontrak formal. Di satu sisi, nilai ekonomi gig mencapai skala besar estimasi industri menempatkan nilai global gig economy pada ratusan miliar hingga triliunan dolar tetapi di sisi lain keuntungan terbesar mengalir ke pemilik platform dan investor, bukan ke pelaksana pekerjaan riil.
"Nilai yang diciptakan di titik produksi manusia waktu, data, perhatian diserahkan kepada sistem privat yang mengkapitalisasi akses dan visibilitas."
Perubahan struktural ini memunculkan problem yang tak bisa diatasi dengan plester kebijakan semata. Ketika platform memonetisasi akses dan data sebagai aset strategis, negara kehilangan ruang regulasi efektif atas kehidupan ekonomi sehari‑hari. Sarana produksi yang sebelumnya bersifat publik menjadi terprivatisasi de facto; demikian pula mekanisme kolektif untuk menuntut hak pekerja menjadi tergerus karena fragmentasi status kerja. Protes‑protes pengemudi dan kurir yang menuntut transparansi komisi, upah, atau jaminan sosial adalah gejala konkret dari konflik struktur ini: pelemahan posisi tawar pekerja akibat disintegrasi relasi kerja tradisional.
Dari perspektif syariah, peralihan ini bertentangan dengan prinsip‑prinsip dasar ekonomi Islam. Pertama, masalah milkiyah (kepemilikan): sumber daya yang berfungsi bagi kepentingan publik tidak dapat diprivatisasi sehingga menahan akses umat. Dalam pemikiran Islam klasik dan kontemporer termasuk kajian terhadap pemikiran Taqiyuddin an‑Nabhani kepemilikan yang menyentuh hajat orang banyak harus berada di bawah pengelolaan publik atau negara demi menjamin keadilan dan kemaslahatan. Kedua, soal akad dan ridha: data pengguna yang dikumpulkan dan dimonetisasi kerap terjadi tanpa akad yang jelas dan tanpa kompensasi yang sah sebuah praktik yang problematis menurut kaidah fiqh ekonomi. Ketiga, soal peran negara: tradisi syariah menempatkan negara sebagai otoritas yang menjaga keadilan pasar, mencegah monopoli, dan mengatur distribusi; ketika peran ini digeser atau dilemahkan, fungsi keadilan sosial menjadi rapuh.
Dalam kerangka pemikiran Taqiyuddin an‑Nabhani, akar persoalan tidak adalah kekeliruan kebijakan semata melainkan keliru dalam fondasi sistem. Model ekonomi yang membenarkan kepemilikan privat absolut atas sarana penting, yang mengizinkan akumulasi tanpa batas, dan yang bergantung pada mekanisme utang dan spekulasi, akan secara struktural melahirkan ketidakadilan dan subordinasi. Dengan demikian, solusi yang tepat bukanlah sekadar regulasi parsial, melainkan transformasi institusional yang memulihkan kepemilikan publik/negara atas sumber daya vital, menetapkan akad yang adil, dan menempatkan distribusi kekayaan sebagai kewajiban sosial secara syar'i.
Realitas pekerja gig mempertegas kebutuhan tersebut. Mereka sering bekerja pada rentang pendapatan yang tidak stabil; sejumlah studi di kawasan menyebutkan rata‑rata pendapatan driver/kurir berkisar pada beberapa juta rupiah per bulan, namun tanpa memperhitungkan biaya modal dan jam kerja panjang, sehingga pendapatan bersih seringkali berada di dekat atau di bawah standar upah layak di daerah tertentu. Ketidakpastian ini diperparah oleh mekanisme algoritmik yang tidak transparan sebuah bentuk kontrol yang bukan sekadar ekonomi tetapi juga politis: algoritma menentukan siapa yang mendapatkan akses hidup, siapa yang memperoleh visibilitas, dan siapa yang tenggelam dalam kebisuan pasar.
Berbagai studi model ekonomi Islam modern menunjukkan bahwa sistem berbasis pembagian hasil, larangan riba, dan mekanisme redistribusi (zakat, waqf) secara teoritis dan simulatif cenderung menghasilkan distribusi kekayaan yang lebih merata daripada model yang bergantung pada utang dan bunga. Sementara itu, kritik ekonom konvensional terhadap mekanisme lembaga internasional misalnya Joseph Stiglitz yang menyorot bagaimana kebijakan lembaga keuangan global dapat memperdalam ketergantungan negara berkembang menegaskan bahwa data dan modal global tidak netral melainkan bermuatan relasi kekuasaan.
Oleh karena itu, beberapa rekomendasi kebijakan bersifat jangka pendek namun penting: menetapkan status hukum yang jelas bagi pekerja platform sehingga mereka berhak atas perlindungan sosial; membuka akuntabilitas algoritma dan transparansi distribusi order; serta mengatur komisi dan mekanisme tarif agar tidak bersifat rent‑seeking. Namun rekomendasi ini harus diletakkan dalam horizon yang lebih luas: rekonstruksi institusional yang mengembalikan kontrol publik terhadap infrastruktur digital strategis, pengembangan mekanisme kepemilikan kolektif atau negara atas sarana vital, dan penerapan prinsip ekonomi Islam sebagai pemandu distribusi dan proteksi sosial.
Pertanyaan penutup yang mendesak adalah: untuk siapa teknologi itu bekerja? Jika teknologi menguatkan dominasi korporasi, memprivatisasi ruang publik, dan mengikis kapasitas kolektif umat, maka ia bukan kemajuan yang layak diperjuangkan. Perspektif syariah menuntut agar kemajuan diarahkan untuk kemaslahatan umat bukan untuk akumulasi keuntungan segelintir pihak. Hanya dengan perubahan struktural yang mendasar, yang memulihkan kepemilikan publik, menegakkan akad adil, dan mewajibkan distribusi, teknologi dapat dibentuk kembali menjadi instrumen kemerdekaan bukan jebakan eksploitatif.
Rekomendasi Bacaan
KITAB SISTEM EKONOMI ISLAM TERJEMAHAN
Buku Sistem Ekonomi Islam ini merupakan kekayaan pemikiran Islam yang sangat berharga dan amat langka. Sebab, buku ini merupakan buku pertama pada zaman sekarang, yang mampu menjelaskan fakta ekonomi Islam secara jelas dan gambling
Cek di Shopee
Buku Sistem ekonomi dunia
Buku Sistem ekonomi dunia yang ditulis dengan bahasa yang renyah dan mudah dipahami, cocok untuk pembaca umum.
Cek di Shopee