Istilah toxic people hari ini beredar luas di media sosial, ruang kerja, hingga obrolan personal. Ia dipakai untuk menamai sosok-sosok yang dianggap merusak suasana, menguras energi, menekan mental, dan menimbulkan luka psikologis. Namun di balik popularitas istilah ini, sering kali kita berhenti pada label, bukan pada pemahaman yang lebih dalam.
Kita sibuk menunjuk orang lain sebagai “toxic”, tetapi jarang bertanya: dari sistem nilai apa perilaku itu lahir, dan bagaimana Islam memandang fenomena ini secara utuh. Dalam banyak kasus, toxic people bukan sekadar individu bermasalah secara kepribadian. Ia adalah produk dari cara pandang hidup yang rusak.
Islam menempatkan akhlak sebagai fondasi relasi. Kerusakan hubungan bukan sekadar persoalan emosi, tetapi indikasi rapuhnya orientasi iman.
Ayat ini sederhana, tetapi sangat tegas. Ia tidak memberi ruang bagi pembenaran perilaku kasar, merendahkan, atau manipulatif atas nama kejujuran, kepedulian, atau bahkan dakwah. Dalam Islam, cara menyampaikan sama pentingnya dengan apa yang disampaikan.
Fenomena toxic people juga tidak bisa dilepaskan dari budaya zaman ini yang memuja keakuan. Dunia modern mengajarkan manusia untuk selalu menang, selalu benar, dan selalu menjadi pusat. Empati dianggap kelemahan, sementara kerendahan hati dipandang sebagai kerugian.
Hadits ini memberi standar yang sangat jelas. Ukuran keislaman seseorang bukan seberapa keras ia berbicara atau seberapa dominan ia dalam relasi, tetapi sejauh mana orang lain merasa aman dari sikap dan ucapannya.
Namun Islam juga tidak mendorong manusia menjadi korban yang pasif. Menyadari keberadaan toxic people bukan berarti membenci, tetapi menjaga akal sehat dan iman. Menjaga jarak dan membatasi interaksi dapat menjadi bentuk tanggung jawab, selama dilakukan tanpa kesombongan dan kebencian.
Pada akhirnya, pembahasan tentang toxic people seharusnya membawa kita pada refleksi yang lebih dalam. Bukan hanya tentang siapa yang harus dijauhi, tetapi tentang siapa diri kita ketika hadir dalam hidup orang lain.
Mungkin yang paling jujur bukan bertanya,
“Siapa yang toxic di sekitarku?”
tetapi,