“Insecure” sering dipahami sebagai gangguan rasa percaya diri, seakan ia hanya urusan perasaan personal yang muncul karena pengalaman masa lalu atau kurangnya afirmasi positif. Namun jika ditelusuri lebih dalam, insecure adalah gejala kompleks yang lahir dari pertemuan antara kondisi psikologis manusia dan sistem nilai yang menaunginya. Ia bukan sekadar persoalan mental, tetapi sinyal bahwa cara manusia memaknai dirinya sedang dibentuk oleh standar yang keliru.
Ilmu psikologi modern menjelaskan bahwa manusia secara fitri memiliki kebutuhan akan rasa aman, penerimaan, dan penghargaan. Abraham Maslow menempatkan rasa aman dan penghargaan sebagai lapisan penting dalam struktur kebutuhan manusia. Ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi secara stabil, muncullah kecemasan, perasaan tidak berharga, dan dorongan untuk terus membandingkan diri dengan orang lain. Namun pendekatan ilmiah arus utama sering berhenti pada level individu, tanpa cukup menyingkap lingkungan ideologis yang terus-menerus memicu ketidakpuasan tersebut.
Di era digital, berbagai riset menunjukkan korelasi kuat antara intensitas penggunaan media sosial dengan meningkatnya kecemasan, depresi, dan rendahnya penghargaan diri. Fenomena social comparison bekerja tanpa henti. Manusia tidak lagi membandingkan dirinya dengan lingkaran sosial terbatas, tetapi dengan representasi kehidupan yang telah dikurasi, dipoles, dan dipertontonkan secara masif. Otak manusia yang secara biologis tidak dirancang untuk menerima paparan perbandingan global setiap saat akhirnya terjebak dalam ilusi kolektif: seolah semua orang lebih bahagia, lebih berhasil, dan lebih layak.
Islam sejak awal telah memberi rambu yang sangat tegas dalam persoalan ini. Rasulullah ﷺ bersabda:
اُنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
Hadits ini bukan sekadar nasihat moral, melainkan prinsip psikologis yang menyehatkan jiwa. Islam mengatur arah pandang manusia agar tidak terperangkap dalam perbandingan sosial yang melelahkan dan merusak rasa syukur.
Lebih dalam lagi, Islam membongkar akar utama rasa insecure modern: obsesi pada penilaian eksternal. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Hadits ini secara langsung meruntuhkan fondasi budaya citra yang menjadi sumber kegelisahan manusia modern. Ketika nilai diri digantungkan pada rupa, status, dan pengakuan publik, maka kegelisahan akan selalu hadir. Sebaliknya, ketika standar penilaian dikembalikan kepada hati dan amal, manusia memiliki pijakan yang stabil dan tidak mudah goyah oleh penilaian manusia.
Ilmu saraf modern justru mengonfirmasi hikmah ini. Ketergantungan pada validasi eksternal memicu fluktuasi dopamin yang tidak stabil. Pujian memberikan lonjakan sesaat, tetapi pada saat yang sama menanamkan kecemasan untuk kehilangan pengakuan tersebut. Sebaliknya, orientasi pada makna hidup dan tujuan transenden terbukti meningkatkan ketahanan mental jangka panjang. Dalam Islam, orientasi ini ditanamkan melalui konsep niat, ikhlas, dan orientasi akhirat.
Rasulullah ﷺ juga menegaskan bahwa ketenangan batin bukan berasal dari kelimpahan materi atau sorotan manusia. Beliau bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya qana’ah terhadap apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)
Qana’ah bukanlah sikap pasrah tanpa usaha, melainkan kondisi batin yang aman dan utuh. Ia melindungi manusia dari kecemasan yang lahir akibat standar hidup yang terus bergeser dan tidak pernah mengenal kata cukup.
Pada akhirnya, insecure bukan hanya krisis kepercayaan diri, tetapi krisis makna. Ia muncul ketika manusia kehilangan orientasi hidup dan menggantungkan nilai dirinya pada sistem yang rapuh. Selama manusia masih mengukur dirinya dengan neraca dunia yang berubah-ubah, selama itu pula rasa tidak aman akan terus menghantui.
Ketika orientasi hidup dikembalikan kepada tauhid, manusia tidak lagi sibuk membandingkan diri. Ia sadar bahwa hidupnya tidak sedang dipertaruhkan di hadapan manusia, tetapi dinilai oleh Allah Yang Maha Mengetahui. Dari kesadaran inilah rasa aman yang sejati lahir, bukan sebagai ilusi psikologis, melainkan sebagai buah dari iman yang kokoh.
Insecure Index
Banyak kegelisahan batin lahir bukan dari kurangnya kepercayaan diri, tetapi dari orientasi nilai yang keliru. Analisis ini membahas akar tersebut dan arah pelurusannya.