Kenapa Hidup Berasa Lari Tanpa Finis?

Kenapa Hidup Berasa Lari Tanpa Finis? — KafahMedia

Pernahkah kamu merasa hidup ini seperti sedang dikejar sesuatu, padahal kamu sendiri tidak tahu siapa yang mengejar? Baru selesai satu urusan, muncul urusan lainnya. Baru lega gajian, langsung datang tagihan. Rasanya seperti lari kencang di treadmill: capek, tapi tetap di tempat yang sama.

Dan setiap kali kita mulai lelah, selalu ada suara kadang dari iklan, kadang dari orang sekitar yang bilang bahwa kita hanya perlu usaha lebih keras sedikit lagi. Seakan-akan masalah utamanya adalah kurang kerja keras. Padahal, kalau kita jujur pada diri sendiri,dan melihat fakta lebih dalam, rasa lelah yang muncul itu sering bukan karena sikap kita… tapi karena panggung tempat kita hidup memang dirancang bikin kita lelah.

﴿ أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ ﴾
Bermegah-megahan telah melalaikan kalian. (QS. At-Takatsur: 1)

Kita hidup di dalam sebuah sistem yang tak pernah terang-terangan memerintah kita, tapi selalu berhasil menggiring kita. Sejak kecil, kita ditata pelan-pelan untuk mengukur nilai diri dengan benda-benda yang bisa difoto, dipamerkan, atau dibandingkan. Kita diajari bahwa kebahagiaan itu bukan soal kedalaman hati, tetapi soal memenuhi daftar kepemilikan yang terus memanjang seperti lorong tanpa pintu keluar.

Tanpa sadar, standar hidup kita dibentuk oleh iklan, algoritma, dan percakapan-percakapan kecil yang menanamkan rasa kurang. Belum punya barang A? Berarti kamu tertinggal. Belum bisa beli barang B? Mungkin kamu belum “sukses”. Tidak tinggal di kawasan C? dan seterusnya, Seolah-olah selalu saja ada yang cacat dari perjalanan hidupmu.

Masalahnya, semua itu A, B, C tidak dirancang untuk memiliki ujung. Begitu satu terpenuhi, yang lain muncul. Sistem ini bekerja bukan dengan membuat kita bahagia, tapi dengan memastikan kita terus merasa ada yang kurang. Kita jadi manusia yang selalu berjalan cepat, tapi tidak pernah benar-benar tiba.

Padahal kalau kita berhenti sebentar, kita sadar sesuatu yang sederhana: kebutuhan manusia sebenarnya tidak sekompleks daftar yang ditawarkan dunia. Justru yang membuat hidup keruh adalah ketika kita mengikat harga diri pada hal-hal yang fana

Rasulullah ﷺ mengingatkan kita tentang arti kaya yang sesungguhnya:

« لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ العَرْضِ، وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ »
Kaya itu bukan banyaknya harta, tetapi kayanya jiwa. (HR. Bukhari & Muslim)

Dalam cara pandang syariah, harta bukan alat untuk memamerkan pencapaian, melainkan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Al-Ghazali menggambarkan bahwa harta kadang seperti air laut: semakin diminum, semakin haus. Dan itu yang banyak kita rasakan saat ini.

Ketidakadilan dalam distribusi kekayaan adalah awal runtuhnya peradaban.
— Ibn Khaldun

Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kesejahteraan masyarakat lahir dari keadilan, bukan dari kerakusan individu. Al-Mawardi menambahkan bahwa pemerintahan yang adil harus memastikan kebutuhan dasar warga tidak tergantung pada perlombaan yang melelahkan.

« إِنَّ اللَّهَ أَمَرَ بِالْقِسْطِ فِي كُلِّ شَيْءٍ »
Sesungguhnya Allah telah mewajibkan keadilan atas segala sesuatu. (HR. Muslim)

Ketika kita memahami bahwa kelelahan bisa jadi produk dari sistem, bukan semata kelemahan pribadi, maka kita mulai membuka ruang bertanya: apakah hidup memang harus seperti ini? Atau adakah tata sosial-ekonomi yang lebih baik dan lebih memanusiakan manusia?

Taqiyuddin an-Nabhani menekankan bahwa sistem ekonomi yang benar harus berpijak pada wahyu dan keadilan, bukan semata-mata pada kalkulasi manfaat yang berubah-ubah. Dengan begitu, pengaturan harta dan pemenuhan kebutuhan dasar menjadi tanggung jawab bersama, bukan ajang kompetisi yang melelahkan.

Perubahan sering dimulai dari hening di dalam diri: bertanya, lalu bertindak.

Jadi, jika suatu hari kamu merasa sangat lelah, jangan buru-buru menyalahkan diri. Kadang yang dibutuhkan bukan lebih keras berlari melainkan melihat siapa yang men-setting lintasan itu. Dan ketika kesadaran ini muncul, langkah kecil yang kamu ambil bisa menjadi awal perubahan yang jauh lebih besar.

Pada akhirnya,

hidup ini bukan tentang seberapa cepat kita berlari, tetapi ke arah mana kita melangkah. Selama arah kita ditentukan oleh dunia, kita akan terus merasa tersesat. Namun ketika arah itu kita kembalikan kepada Allah, kepada nilai, aqidah, dan makna, barulah lelah itu berubah menjadi perjalanan yang punya tujuan.

Sebab manusia tidak diciptakan untuk mengejar keinginan dan bayangan, tetapi untuk menemukan jalan yang membuat jiwa utuh. Dan sering kali, perjalanan menuju kejelasan dimulai ketika kita berani berhenti dan bertanya: “Apakah ini sungguh hidup yang ingin aku jalani? kapan ini akan berakhir?”

Jika pertanyaan itu berani muncul, maka kamu sudah berada selangkah lebih dekat pada hidup yang lebih "realistis", bernilai, dan lebih dekat kepada Dia yang tidak pernah menjadikanmu sekadar angka dalam roda ekonomi.

Referensi

  • Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, pembahasan tentang 'asabiyyah dan tabiat manusia.
  • Al-Mawardi, Al-Ahkām as-Sulṭāniyyah, pembahasan mengenai stabilitas masyarakat dan keteguhan dalam kepemimpinan.
  • Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islamiyyah Jilid 1, penjelasan mengenai komitmen ideologis & keteguhan amal.
🤲 Dukung Kaffah Media Bantu jaga dakwah dan konten ideologis tetap berjalan.
📡 Ikuti Saluran Kaffah Media Semua artikel baru & catatan ideologis langsung ke perangkatmu. Tanpa tergantung algoritma.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak