Zakat sebagai pilar ekonomi Islam vs pajak dalam sistem kapitalis
Di tengah krisis ekonomi, inflasi, kesenjangan kaya-miskin, dan utang negara yang menumpuk, muncul satu pertanyaan penting: apakah stabilitas ekonomi harus selalu mengandalkan pajak seperti dalam sistem kapitalisme sekarang, ataukah Islam punya mekanisme yang lebih adil dan kokoh melalui zakat dan sistem keuangannya?
Sekilas, zakat dan pajak sama-sama “iuran wajib” dari rakyat kepada negara. Tapi jika ditelusuri dari akidah, fikih, dan pandangan ulama, keduanya berdiri di atas dua dunia yang berbeda.
Zakat: Ibadah, Kebijakan Negara, dan Mekanisme Distribusi
Ayat ini menunjuk bahwa zakat diperintahkan dan diambil oleh negara bukan hanya sedekah sukarela. Zakat berfungsi ganda: sebagai ibadah individu dan sebagai kebijakan fiskal yang memiliki dasar tak terbantahkan dari syariat.
Karena sifatnya yang syar'i, jenis harta, nisab, ashnaf penerima, dan tata kelola zakat bersifat pasti (tsabit).
- Fungsi: pembersihan harta, distribusi kekayaan, dan jaring sosial.
- Tujuan: memprioritaskan kelompok rentan (ashnaf) sehingga menahan potensi ledakan sosial.
- Implikasi: keterikatan moral—zakat mengikat harta dengan akhirat dan hisab.
Pajak: Produk Undang-Undang Sekuler dan Variabel Politik
Pajak modern adalah ketetapan manusia melalui undang-undang: tarif, jenis, dan mekanisme penarikannya fleksibel—mudah diubah sesuai kepentingan politik, tekanan kelompok, atau kebutuhan menutup utang.
Karena tidak ada wahyu yang mengikatnya, pajak berakar pada kepentingan sistem kapitalis, bukan akidah.
- Pajak bisa dipakai untuk berbagai pos gaji pejabat, proyek megah, pembayaran bunga utang, bailout korporasi bukan semata untuk menolong yang paling lemah.
- Akibat sosial: persepsi sebagai beban, potensi penghindaran, dan ketidakpercayaan terhadap negara bila kebocoran dan korupsi terjadi.
Apa Kata Para Ulama dan Pemikir Sistem Ekonomi Islam?
Para ulama menekankan bahwa zakat memiliki batasan syar’i (delapan ashnaf) sehingga distribusi terarah kepada fakir, miskin, amil, muallaf, dan lain-lain. Imam-imam klasik (an-Nawawi, Ibnu Qudamah) menegaskan hal ini sebagai aturan tetap.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai contoh pemikir meletakkan zakat sebagai pos pemasukan tetap Baitul Mal. Ia membedakan zakat (qath’i, ibadah) dari pajak modern (dharibah) yang hanya boleh dalam kondisi sangat sempit menurut fikih.
Menurut pandangan ini, menjadikan pajak modern sebagai tulang punggung negara adalah penyimpangan dari sistem fiskal Islam dan membuka pintu ketidakadilan.
Zakat + Larangan Riba = Mekanisme Stabilitas yang Terpadu
Zakat tidak berdiri sendiri. Dalam kerangka ekonomi Islam yang kaffah terdapat sistem yang saling melengkapi:
- Larangan riba dan spekulasi
- Pengaturan kepemilikan (individu, umum, negara)
- Pengelolaan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat
- Mekanisme Baitul Mal yang syar'i
- Distribusi zakat kepada ashnaf yang tepat
- Pendanaan sosial yang memprioritaskan yang lemah
Hasilnya: peredaran kekayaan lebih sehat, penimbunan berkurang, dan dukungan sosial tersasar tepat—semua berkontribusi pada stabilitas jangka panjang.
Kesimpulan: Mana yang Lebih Menstabilkan?
Jika ditinjau berdasarkan kerangka sistem, jawaban bergantung pada sistem yang dipakai. Namun secara syar'i dan ilmiyah:
- Zakat dalam sistem Islam kaffah lebih layak disebut penyangga stabilitas yang adil, karena mengikat harta pada akidah, menolong ashnaf, dan bekerja bersama larangan riba serta pengelolaan milik umum.
- Pajak dalam sistem kapitalis rentan menjadi alat untuk kepentingan politik/elite, menambal utang ribawi, dan memunculkan ketidakpercayaan sosial jika tata kelolanya korup.
Jadi, bila tujuan adalah stabilitas ekonomi yang terasa sampai ke dapur keluarga fakir miskin bukan sekadar angka di laporan jalan keluarnya bukan hanya “mengoptimalkan zakat” di dalam sistem kapitalis. Jalan yang konseptual adalah mengembalikan tata ekonomi kepada aturan Allah, di mana zakat menjadi salah satu pilar utama.
Renungan singkat
Kita sering diminta “taat pajak demi negara”, tapi kapan terakhir kita diajak berpikir: apakah sistem yang melahirkan pajak itu benar-benar menjamin keadilan bagi si miskin?
Sumber rujukan: Al-Qur'an (At-Taubah:103, At-Taubah:60), hadis, dan literatur fikih klasik; pemikiran kontemporer tentang Baitul Mal dan ekonomi Islam.✨ Ringkasan Singkat: Zakat vs Pajak
- Zakat adalah ibadah + kebijakan fiskal syar'i. Tetap, pasti, dan terikat wahyu.
- Pajak adalah produk politik dalam sistem kapitalis: berubah-ubah dan cenderung mengikuti kepentingan elite.
- Zakat menyalurkan harta langsung ke delapan ashnaf, menahan kesenjangan dan menjaga stabilitas sosial.
- Pajak sering dipakai untuk menutup utang ribawi, proyek elite, atau pos yang tak pro-rakyat.
- Sistem ekonomi Islam menggabungkan zakat + larangan riba + pengelolaan milik umum.
- Stabilitas sejati muncul ketika ekonomi diatur oleh syariat, bukan sekadar tarif pajak.
Kenapa zakat lebih stabil?
Karena ia pasti, transparan, dan terikat syariat. Distribusinya tepat sasaran dan membangun keadilan sosial.
Kenapa pajak sering jadi masalah?
Tarif berubah karena politik, rawan korupsi, dan sering membebani rakyat demi menutup utang ribawi.
Jadi solusi besarnya apa?
Mengembalikan ekonomi kepada aturan Allah: zakat sebagai pilar, riba dihapus, dan aset publik dikelola negara untuk rakyat.