Sebuah narasi tentang kesombongan halus: saat ego tidak lagi berteriak, tetapi menyamar sebagai kerendahan hati, keshalehan, dan wibawa.
Untuk pembaca Kaffah Media:
tulisan ini tidak sedang mencari “siapa yang paling salah”, tetapi mengajak kita jujur: seberapa banyak ruang perjuangan kita yang diam-diam dipenuhi kepentingan ego?
Ada kesombongan yang mudah kita jauhi karena bising dan kasar. Yang jauh lebih berbahaya justru yang tenang, lembut, sopan kesombongan yang memakai pakaian tawadhu, dan karenanya sulit dibaca, apalagi diakui.
Ada jenis kesombongan yang mudah sekali kita kenali: orang yang terang-terangan merendahkan, yang suka pamer harta, yang merasa berhak memandang hina siapa saja yang tidak selevel dengannya. Itu versi kasar, bising, dan sering mudah kita jauhi. Tetapi ada jenis kesombongan lain yang jauh lebih licin, lebih halus, dan karena itu justru lebih berbahaya: ego yang berpakaian tawadhu.
Di permukaan, orangnya lembut. Kata-katanya penuh kerendahan hati. Ia sering berkata, “Saya juga masih belajar”, “Saya bukan siapa-siapa”, “Silakan kalau mau mengoreksi saya.” Namun bila diperhatikan pelan-pelan, ada pola yang terus berulang: ia seperti tidak rela duduk sejajar. Dalam ruang diskusi, ia selalu menemukan cara agar dirinya tetap menjadi rujukan akhir. Dalam forum, ia sulit sekali mendengar kritik sebagai bantuan; lebih sering ia memaknai kritik sebagai ancaman terhadap wibawanya. Kebenaran, bagi tipe seperti ini, tidak lagi berdiri di atas semua pihak; kebenaran pelan-pelan digeser menjadi sesuatu yang harus lewat dirinya dahulu.
Menolak kebenaran bukan selalu berarti berteriak lantang menolak dalil. Dalam bentuk halusnya, ia bisa muncul sebagai rasa tidak nyaman yang menyeruak saat pendapat kita terbukti lemah. Saat ayat dan hadis yang lebih kuat dibacakan, hati mengeras, bukan karena dalilnya kurang jelas, tetapi karena ego menolak turun dari singgasana. Dan meremehkan manusia tidak selalu berupa caci maki; ia bisa berupa cara pandang yang diam-diam mengurut manusia berdasarkan gelar, jabatan, jumlah jamaah, jumlah pengikut, dan panjang riwayat organisasi.
Sistem sosial modern begitu lihai memupuk jenis kesombongan ini. Sejak awal, kita dididik dengan logika: semakin tinggi gelar akademik, semakin besar jabatan birokrasi, semakin sering nama kita disebut di panggung, semakin layak kita dihormati. Lama-lama, tanpa sadar, harga diri kita menempel pada status. Kita merasa “menjadi seseorang” ketika diperkenalkan dengan titel tertentu, ketika duduk di kursi khusus, ketika mikrofon diberikan pertama kali kepada kita. Pada titik itu, kebenaran menjadi urusan sekunder. Yang utama adalah memastikan posisi kita tidak runtuh di mata manusia.
Dari sisi psikologi, ini adalah mekanisme pertahanan ego yang klasik. Manusia yang rapuh di dalam akan berusaha membangun dinding di luar. Kelemahan ilmu, rasa tidak aman karena tahu bahwa pengetahuan belum sedalam citra yang dibangun, kekhawatiran bahwa suatu hari orang akan melihat celah kelemahan semuanya mendorong ego untuk mencari selimut. Selimut itu bisa berupa jabatan. Bisa berupa gelar. Bisa berupa status sebagai “aktivis senior”, “ustadz rujukan”, atau “tokoh ideologis”. Dan cara mempertahankan selimut itu seringkali bukan dengan memperdalam ilmu dan memperhalus akhlak, tetapi dengan memastikan tidak ada orang lain yang tampak lebih kuat argumennya dan lebih jernih penjelasannya.
Di sekeliling mereka, sering ada tipe manusia lain yang karakternya justru kebalikan: orang-orang yang sangat peka pada perasaan orang lain, yang terbiasa menahan pendapat demi menjaga suasana, yang rela mengecilkan dirinya agar tidak menyinggung. Mereka membaca mimik, menangkap ketegangan, peka pada perubahan raut wajah. Ketika merasa lawan bicara mulai tidak nyaman, mereka cepat-cepat mengerem. Mereka memilih diam, bukan karena kosong, tetapi karena terlalu banyak pertimbangan. Di permukaan, sosok semacam ini tampak lembut dan pendiam. Di dalam, mereka menyimpan banyak yang sebenarnya ingin dikatakan.
Pertemuan dua karakter ini menciptakan panggung yang ganjil. Di satu sisi, ada ego yang perlu terus merasa sedikit di atas. Di sisi lain, ada jiwa-jiwa yang terus menekan diri agar orang lain nyaman. Maka lahirlah forum-forum yang khas: yang paling banyak bicara bukan selalu yang paling benar; yang paling sering mengakhiri diskusi bukan selalu yang paling kuat dalilnya; yang paling sering dipuji bukan selalu yang paling jernih niatnya. Di tengah semua itu, suara-suara jernih lebih sering tercekik di tenggorokan. Mereka belajar bahwa terlalu jujur bisa mengusik wibawa orang yang tidak siap dikoreksi. Mereka belajar bahwa terlalu terang dalam berargumen bisa membuat mereka dikunci, disisihkan, atau dipandang sebagai ancaman.
Di titik ini, ilmu sosial dan agama bertemu: relasi yang mestinya setara di hadapan kebenaran berubah menjadi relasi hierarkis yang dipaksakan. Forum yang seharusnya menjadi tempat musyawarah berubah menjadi panggung simbolik untuk menjaga wajah. Percakapan bukan lagi upaya kolektif mencari apa yang lebih diridhai Allah, tetapi ajang halus untuk memastikan siapa yang sebenarnya memegang kendali.
Padahal, dalam sejarah Islam, kita menyaksikan teladan yang sangat berbeda. Umar bin Khaththab yang begitu perkasa itu, di tengah khutbahnya bisa dikoreksi oleh seorang perempuan tua. Ali bin Abi Thalib, dengan kedalaman ilmunya, masih rela duduk belajar dan bertanya. Ulama-ulama besar tidak segan menyebut nama guru-guru mereka yang “tidak terkenal” di mata penguasa, tetapi sangat agung di mata ilmu. Mereka mengikat harga diri mereka pada ketaatan dan kejujuran, bukan pada kedudukan sosial. Mereka tidak merasa hancur ketika dikoreksi, karena mereka tidak sedang membangun singgasana untuk diri sendiri.
Berbeda dengan suasana hari ini. Banyak di antara kita lebih takut kehilangan pengaruh daripada kehilangan pahala. Kita lebih takut turun status di hadapan manusia daripada turun derajat di sisi Allah. Maka, ketika ada yang mengingatkan, kita cepat mencari seribu alasan. Ketika ada yang mempertanyakan pendapat, kita buru-buru mencari tameng: “Kamu siapa?”, “Sudah berapa lama kamu di medan ini?”, “Apa kamu sudah baca kitab ini itu?” Dalil kadang baru dicari belakangan, hanya untuk membenarkan posisi yang sejak awal sudah kita kunci di dalam hati.
Kesombongan yang berpakaian tawadhu membuat seseorang fasih mengucap, “Silakan koreksi saya”, tetapi pada saat yang sama batinnya tidak pernah benar-benar siap mendengar. Itu terlihat dari caranya merespons: menggeser topik, menyerang pribadi, meminimalkan sumbangan orang lain. Bahkan ketika dia menerima koreksi, itupun sering dilakukan dengan ungkapan yang menjaga jarak: seolah-olah ia sedang merendah, padahal sebenarnya hanya sedang merapikan citra.
Bahaya terbesar dari penyakit ini adalah satu: seseorang berhenti merasa perlu berbenah. Dalam istilah psikologi, ia kehilangan kemampuan untuk melihat blind spot dirinya. Di depan cermin, ia hanya melihat sosok yang “sudah cukup tawadhu”, “sudah cukup lurus”, “sudah cukup berjasa”. Ia lupa bahwa manusia yang paling selamat justru adalah mereka yang paling curiga kepada dirinya sendiri, yang setiap malam bertanya: apakah aku tulus atau hanya sedang membungkus kepentingan pribadiku dengan bahasa agama?
Dalam lingkungan yang seperti ini, orang-orang yang terbiasa menekan diri juga perlu berhenti sejenak dan bertanya: sampai kapan aku terus mengecilkan diriku demi menjaga perasaan ego orang lain? Kepekaan pada orang lain adalah kebaikan, tetapi bila ia selalu dipakai untuk mengorbankan kebenaran dan mematikan potensi yang Allah titipkan, itu bukan lagi kelembutan; itu berubah menjadi bentuk lain dari ketidakadilan pada diri sendiri. Berulang kali mengalah demi menghindari konflik bukan lagi sikap mulia jika yang dikorbankan adalah peluang memperjelas kebenaran, memperbaiki cara berpikir kolektif, dan menyelamatkan banyak orang dari konsekuensi kekeliruan yang dibiarkan.
Kalau kita jujur, penyakit ini hidup di banyak lingkaran: di keluarga, di kantor, di komunitas, di lingkup dakwah, bahkan di forum-forum yang mengaku paling ideologis sekalipun. Di semua tempat itu, pola yang sama bisa kita temukan: orang yang terlalu dijunjung sehingga tak tersentuh kritik, orang yang terlalu takut menyinggung sehingga mematikan suaranya sendiri, dan suasana yang penuh basa-basi halus di atas fondasi yang rapuh.
Sementara itu, proyek besar yang kita ucapkan di lisan—kebangkitan Islam, tegaknya syariah, tegaknya keadilan, berakhirnya kezhaliman sistemik—semua itu membutuhkan jiwa-jiwa yang bersih dari perbudakan kepada ego. Tidak akan lahir masyarakat yang tunduk sepenuhnya kepada hukum Allah jika di lingkup kecil kita saja, di meja rapat dan grup kecil, yang lebih berkuasa adalah gengsi dan rasa ingin selalu di atas. Bagaimana kita bisa mengajak umat melepaskan diri dari dominasi manusia atas manusia, jika diri kita sendiri masih tidak rela turun dari posisi kecil yang kita nikmati?
Maka, barangkali langkah pertama yang paling jujur bukanlah menunjuk orang di luar sana, tetapi menatap cermin lebih lama daripada biasanya. Bukan dengan kalimat, “Ini persis seperti si fulan”, tetapi dengan bisikan, “Jangan-jangan ini tentang diriku.” Jangan-jangan aku lah yang merasa risih ketika ada yang lebih tenang berbicara. Jangan-jangan aku lah yang selama ini menilai orang dari gelarnya. Jangan-jangan aku lah yang berulang kali mematikan orang-orang potensial di sekitarku, karena takut kehilangan sorotan.
Tawadhu sejati tidak membuat kita merasa hancur ketika dikoreksi. Tawadhu sejati tidak panik saat orang lain lebih cemerlang. Ia memahami bahwa semua kelebihan hanyalah titipan dan bahwa kemuliaan hakiki tidak dinilai dari siapa yang paling sering di depan, tetapi siapa yang paling jujur tunduk kepada kebenaran, meski pahit bagi dirinya sendiri. Selama kita masih sibuk menjaga kursi kecil ego masing-masing, kita akan terus mengulang pola yang sama: banyak kalimat indah, banyak jargon perjuangan, tetapi sedikit sekali keberanian untuk menelanjangi diri di hadapan Allah.
Dan mungkin, di titik itulah kita harus berani berdoa lebih serius: bukan hanya, “Ya Allah, menangkan perjuangan kami,” tetapi, “Ya Allah, patahkan ego kami yang menghalangi kebenaran, meski itu menyakitkan bagi diri kami sendiri.”
