Bahaya Menjadikan Anak sebagai Panggung Ego Orang Tua

Rubrik Parenting

bagaimana kita melepaskan anak dari tekanan pamer dan mengembalikan fokus pada tarbiyah.

Di era media sosial, mudah sekali rumah tangga berubah wujud: dari tempat tumbuh jiwa menjadi panggung. Kita menyaksikan berita tentang anak yang dipaksa mengejar les dan prestasi tanpa henti sampai mengalami tekanan psikologis, anak yang dimarahi dan bahkan disakiti hanya karena nilai ujiannya tidak sesuai harapan, atau anak yang dijadikan bahan konten prank dan drama emosi demi tontonan publik.

Dalam kacamata Islam, keluarga bukan institusi pertunjukan, tetapi markas pertama pembentukan manusia beriman. Ketika orientasi keluarga bergeser dari tarbiyah menuju pencitraan, maka ruh pendidikan itu sendiri mulai terkikis. Yang tersisa hanyalah bayangan keberhasilan, bukan keberhasilannya.

Di permukaan, semua tampak seperti “usaha orang tua demi masa depan anak”. Namun pelan-pelan, garisnya bergeser: anak mulai diperlakukan sebagai wajah orang tua di hadapan dunia. Prestasi, hafalan, sertifikat, dan momen-momen manis direkam dan dipamerkan bukan hanya sebagai kenangan, tetapi sebagai bukti bahwa “kami adalah keluarga yang berhasil”.

Kita bukan menolak kebanggaan wajar orang tua merasa bangga. Masalah muncul ketika kebanggaan itu berubah menjadi standar, lalu bayi dan anak diperlakukan layaknya portofolio yang harus selalu tampak sempurna agar pemiliknya merasa aman di mata manusia. Di titik itu, tanpa sadar, anak sedang dijadikan panggung ego.

Anak adalah Amanah, Bukan Portofolio

Nabi ﷺ mengingatkan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Termasuk orang tua, yang amanahnya adalah jiwa anak bukan citra diri di mata manusia.

Dalam perspektif Islam, anak adalah amanah. Kita mengasuh mereka untuk kelak berdiri sendiri di hadapan Allah. Orang tua dipanggil untuk menanamkan akhlak, iman, dan kemampuan menimbang benar-salah bukan untuk memoles bayi agar sesuai preferensi publik atau algoritma.

Menjadikan anak sebagai panggung ego berarti menukar tujuan pendidikan: dari menyiapkan penghambaan kepada Allah menjadi menyiapkan tampilan yang memuaskan mata manusia.

Tanda-tanda Anak Jadi Panggung Ego

  • Setiap prestasi anak langsung di-posting dengan ekspektasi pujian eksternal.
  • Pujian lebih sering berfokus pada hasil (nilai, trophy) daripada proses dan usaha.
  • Anak merasa dicintai bila memenuhi target; jika gagal, cinta seakan berkurang.
  • Orang tua marah atau malu saat anak “memalukan” di depan publik.
  • Rumah dijaga untuk tampilan bukan sebagai ruang belajar aman bagi anak untuk mencoba dan gagal.

Dampak pada Jiwa Anak (yang Sering Tak Terlihat)

Di awal, mungkin semuanya terasa baik-baik saja. Anak menurut, berprestasi, dan tampak “membanggakan”. Namun di dalam hati, pelan-pelan tumbuh bisikan yang tidak selalu terdengar: “Aku dicintai kalau berhasil. Aku berharga kalau orang lain kagum.”

Anak yang sering dijadikan panggung ego orang tua bisa tumbuh dengan beberapa luka halus:

  • Takut gagal secara berlebihan. Gagal bukan lagi bagian dari belajar, tapi terasa seperti kehilangan cinta dan muka keluarga.
  • Sulit mengenali diri sendiri. Ia terbiasa hidup untuk memenuhi ekspektasi orang lain, hingga bingung menjawab: “Sebenarnya aku ini siapa dan mau apa?”
  • Menjadi “anak baik” di luar, penuh amarah di dalam. Di depan orang tua dan publik tampak patuh, tapi di dalamnya menyimpan kecewa, marah, atau lelah yang tidak pernah sempat diucapkan.
  • Self-worth yang rapuh. Sedikit kritik terasa seperti serangan pada seluruh nilai dirinya. Ia tumbuh mudah cemas, mudah merasa kurang, dan sulit menerima kekurangan.
  • Hubungan dengan orang tua terasa berat, bukan menenangkan. Rumah bukan lagi tempat pulang apa adanya, tapi ruang ujian yang harus selalu lulus.

Yang membuatnya semakin berbahaya: sering kali anak tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya. Ia hanya belajar satu hal sederhana: “Kalau aku ingin dicintai, aku harus terus tampil baik.” Narasi ini bisa terbawa sampai dewasa, memengaruhi cara ia beribadah, bersahabat, bahkan membangun rumah tangga.

Di sinilah orang tua perlu berhenti sejenak, bukan untuk menyalahkan diri, tetapi untuk berkata dengan jujur: “Aku tidak ingin anakku hidup sepanjang umur untuk menjaga citraku. Aku ingin ia tenang menjadi hamba Allah, bukan aktor di panggungku.”

Jika akar masalahnya adalah orientasi yang bergeser, maka solusinya bukan sekadar mengurangi postingan atau menenangkan amarah. Solusinya adalah mengembalikan arah dari citra menuju iman, dari gengsi menuju adab.

Menggeser Pandangan: Dari Citra ke Iman & Adab

Perubahan besar dimulai dari cara kita memandang tujuan mendidik. Berikut beberapa prinsip yang bisa menjadi kompas:

  1. Tujuan utama: Ridha Allah. Tanyakan: apa tujuan jangka panjang pendidikan ini? Apakah untuk pahala dan kebaikan anak, atau sekadar pengakuan manusia?
  2. Prioritaskan proses daripada hasil. Pujilah usaha, adab, dan ketekunan bukan sekadar angka atau piala.
  3. Jaga kehormatan anak. Hindari mengekspos kegagalan mereka sebagai materi hiburan atau perbandingan.
  4. Ajarkan makna kegagalan. Gagal adalah bagian dari belajar; orang tua menjadi tempat untuk menyelamatkan, bukan menghakimi.
  5. Kurangi pamer yang tidak perlu. Posting yang bermakna boleh, tetapi hindari caption yang mengukur nilai diri orang tua terhadap pencapaian anak.

Langkah Praktis Mengurangi “Panggung Ego”

Berikut langkah konkret yang bisa dicoba mulai hari ini tanpa memaksa perubahan drastis, melainkan bertahap dan penuh adab:

  • Ubah cara memuji: daripada “Kamu juara karena dapat nilai 9”, katakan “Aku lihat kamu belajar keras itu yang membuat aku bangga.”
  • Jaga fitrah. Pendidikan bukan memaksa anak menjadi siapa yang kita mau, tetapi membantu mereka tumbuh sesuai fitrah sebagai hamba Allah yang merdeka secara jiwa.
  • Batasi pamer publik: set aturan keluarga: sebelum mem-posting prestasi anak, tanyakan apakah ini akan menguntungkan anak di masa depan atau malah menekan dirinya.
  • Jadikan rumah ruang aman untuk gagal: biarkan anak mencoba tanpa takut terekspose, rayakan usaha kecilnya di rumah.
  • Tetapkan ritual refleksi: setiap minggu, duduk bersama dan bicarakan pelajaran hati apa yang dipelajari, bukan hanya apa yang dimenangkan.
  • Modelkan nilai: orang tua juga perlu menunjukkan bagaimana menerima kegagalan, bagaimana rendah hati saat berhasil.
  • Singkirkan narasi perbandingan: hindari komentar “kusam kalau tidak seperti si A”; fokuslah pada perkembangan personal anak.
  • Gunakan media sosial dengan bijak: bila ingin memamerkan, utamakan privasi dan jangan sertakan komentar yang bisa mengubah ekspektasi anak terhadap diri sendiri.

Jika Kamu Merasa Terjebak

Merasa sudah terlanjur? Jangan tambah rasa bersalah berlebihan itu juga jebakan. Langkah realistis yang bisa dilakukan:

  1. Minta maaf pada anak bila perlu; jelaskan alasan dan niatmu berubah.
  2. Kurangi posting selama 2–4 minggu sebagai uji coba: amati efeknya pada dinamika keluarga.
  3. Fokus pada satu kebiasaan baru: misalnya, pujian berfokus pada usaha selama 30 hari.
  4. Jika perlu, ajukan konsultasi untuk saran kontekstual.

Ruang Refleksi untuk Orang Tua yang Diam-diam Lelah

Mungkin kamu membaca sampai bagian ini sambil bergumam dalam hati: “Iya, aku juga sering begitu ke anak… tapi malu kalau harus cerita terang-terangan.”

Tidak semua rasa bersalah dan bingung harus langsung diungkapkan di ruang konsultasi terbuka. Kadang, mengakui dalam hati pun sudah langkah besar.

Coba kamu jawab pelan-pelan di dalam hati:

  • Apakah aku pernah menjadikan anak sebagai cara untuk terlihat “berhasil” di depan orang lain?
  • Adakah momen aku menegur anak bukan karena sayang, tapi karena gengsi dan takut dinilai?
  • Kalau anakku bisa bicara bebas tanpa takut, apa yang akan ia sampaikan tentang caraku memperlakukannya?

Kalau pertanyaan-pertanyaan ini terasa menohok, tenang itu artinya hatimu masih hidup.

Pada akhirnya, mendidik anak adalah bagian dari ibadah panjang. Setiap pergeseran arah kecil hari ini akan menuntun mereka pada masa depan yang lebih tenang dekat dengan Allah, bukan tertekan oleh ekspektasi.

Rekomendasi Bacaan

Produk

The book you wish your parents had read

Buku Parenting TERBAIK SELLER Buku Yang Anda Inginkan Orang Tua Anda Telah Membaca.

Cek di Shopee
Produk

Kenabian Parenting - Cara Nabi Mendidik Anak

Buku yang membedah bagaimana cara nabi mendiik anak.

Cek di Shopee

Menjadi orang tua bukan lomba untuk dipamerkan ia adalah perjalanan menyiapkan jiwa. Sedikit pergeseran niat dan kebiasaan sehari-hari akan memberi dampak besar bagi anak dan generasi yang lahir dari rumah kita.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak