Beratnya Hidup Tanpa Panduan Agama

Renungan Ringan untuk Hati yang Lelah

Sebuah ajakan pelan untuk melihat ke dalam diri, menimbang ulang arah hidup, dan kembali menjadikan agama sebagai kompas.

H idup itu kadang terasa aneh. Kita bangun pagi, beraktivitas, kerja, ketawa, bercanda, pegang HP, buka laptop, ngopi… tapi kalau hati lagi jujur, suka muncul pertanyaan pelan-pelan: “Sebenarnya aku ini hidup buat apa sih? Mau ke mana? Dan semua yang aku kejar selama ini ujungnya apa?”

Itu kurang lebih gambaran hidup ketika agama cuma berhenti di kolom KTP atau sekadar status di data sensus, tapi nggak benar-benar dijadikan panduan. Hidup tetap jalan, hari tetap berganti, tapi arahnya samar.

Bayangkan seseorang berjalan di hutan pada malam hari. Di sekelilingnya ada suara-suara, ada bayangan, ada jalur yang bercabang. Ia terus melangkah, kadang lari, kadang tersesat, kadang ikut langkah orang-orang di depannya agar tidak sendirian. Tapi ada satu masalah besar: ia tidak membawa peta dan tidak punya senter.

Begitu juga manusia yang hidup tanpa panduan agama. Kita melihat banyak “jalan”: gaya hidup, cita-cita, standar sukses, ukuran bahagia. Kita ikut arus mayoritas, ikut apa yang terlihat ramai, ikut ke mana orang-orang bergerak. Hanya saja, kita jarang berhenti sejenak dan bertanya: “Ini sebenarnya jalan yang Allah ridhai, atau cuma jalan yang ramai?”

Tanpa kompas wahyu, kita mudah terseret arah yang bukan tujuan.

Ketika agama tidak dijadikan pedoman, standar baik dan buruk menjadi kabur. Yang dipakai biasanya adalah perasaan, pendapat orang, dan tren mayoritas. Masalahnya, tiga-tiganya labil. Sesuatu yang hari ini dianggap salah, besok bisa jadi biasa. Yang kemarin dikatakan tabu, bisa tiba-tiba dipoles dengan istilah “kebebasan berekspresi”, “konten hiburan”, atau “hak pribadi”.

Dosa bisa terlihat keren. Maksiat bisa tampak artistik. Kezaliman bisa disajikan sebagai kebijakan. Di titik ini, agama sebenarnya datang membawa sesuatu yang sangat sederhana tapi penting: garis tegas. Mana yang benar dan mana yang salah tidak ditentukan oleh selera manusia, tetapi oleh wahyu.

Di luar, hidup tampak penuh. Jadwal rapat, tugas rumah, urusan anak, target kerja, notifikasi grup WA yang tidak ada habisnya. Semua terasa padat. Namun anehnya, di dalam hati justru kosong. Kosong dari makna, kosong dari ketenangan, kosong dari rasa dekat kepada Allah.

Sedikit masalah saja bisa langsung membuat kita goyah. Ketika rencana gagal, ketika manusia mengecewakan, ketika hidup tidak sesuai ekspektasi, dada terasa sesak. Tanpa panduan agama, luka hidup seperti menumpuk tanpa obat. Kita sakit, lelah, takut, namun tidak tahu harus mengadu ke mana dan bagaimana memaknai semua ini.

Padahal, ketika agama dijadikan pegangan, kita diajari sesuatu yang sangat menguatkan: bahwa ada Allah yang Maha Mengatur, ada takdir yang tidak pernah salah, ada hikmah di balik setiap kejadian, meski kita belum mengerti sekarang. Doa bukan sekadar ritual, tapi cara seorang hamba memindahkan beban dari bahunya ke pundak Penguasa alam semesta.

Sabar bukan slogan, tapi jalan agar setiap derita ada nilainya di sisi Allah. Tawakal bukan pasrah buta, tapi keyakinan bahwa hasil akhir tetap dalam genggaman-Nya. Tanpa semua ini, beban hidup seolah-olah harus kita tanggung sendiri. Kalau berhasil, kita merasa paling hebat. Kalau gagal, kita merasa paling bodoh. Tidak ada ruang untuk melihat bahwa di atas semua rencana kita, ada rencana Allah yang jauh lebih besar dan lebih sayang kepada hamba-Nya dibanding diri kita sendiri.

Di sisi lain, hidup tanpa panduan agama juga membuat kita gampang salah membaca nikmat dan salah membaca musibah. Saat dapat rezeki besar, jabatan tinggi, atau kenyamanan dunia, kita merasa itu pasti tanda Allah sayang. Padahal bisa jadi semua itu hanya jebakan halus, istidraj: diberi dunia, tapi dicabut hidayah.

Sebaliknya, ketika tertimpa sakit, kehilangan, atau kegagalan, kita buru-buru menyimpulkan bahwa Allah marah dan tidak peduli. Padahal boleh jadi itulah cara Allah membersihkan dosa, mengingatkan yang lalai, dan mengangkat derajat seorang hamba agar tidak terlena. Agama mengajarkan bagaimana menyikapi senang dan susah, supaya dua-duanya sama-sama mendekatkan kita kepada Allah, bukan malah menjauhkan.

Ilmu tanpa agama bisa membuat kepala penuh, tapi hati tetap kosong.

Zaman sekarang, manusia punya banyak sekali informasi. Kita tahu teori kesehatan, teori parenting, teori bisnis, teori produktivitas, bahkan teori psikologi untuk memahami diri sendiri. Tapi tanpa panduan agama, semua ilmu itu sering hanya berhenti di kepala. Ia tidak otomatis mengubah orientasi hidup, tidak otomatis membuat hati tunduk dan patuh kepada Allah.

Padahal ilmu seharusnya membuat kita makin rendah hati, makin takut berbuat maksiat, dan makin sadar bahwa kita hanyalah hamba. Tanpa agama, justru bisa terjadi kebalikannya: semakin pintar, semakin lihai membenarkan kesalahan dengan dalih logika, semakin mahir mengelabui diri bahwa dosa hanyalah “pilihan hidup”.

Pada akhirnya, ada satu kenyataan yang tidak bisa dihindari oleh siapa pun: kematian. Hari di mana semua kesibukan dunia berhenti. Tanpa panduan agama, kematian tampak seperti titik akhir; gelap, menakutkan, dan membingungkan. Seolah-olah setelah napas terakhir, semuanya selesai.

Padahal agama menjelaskan bahwa mati bukan titik, melainkan pintu menuju fase berikutnya: hisab, surga, atau neraka. Di sana, setiap pilihan kecil yang kita buat di dunia—kata-kata, sikap, keputusan, dan kebiasaan—akan dimintai pertanggungjawaban. Hidup tanpa panduan agama membuat banyak orang merasa santai menunda taubat, santai menunda ketaatan, karena merasa “masih lama”. Padahal kematian tidak pernah bertanya apakah kita sudah siap.

Mungkin kita bukan orang yang sempurna. Shalat masih bolong, maksiat masih banyak, ilmu agama pun belum seberapa. Tapi ada satu langkah penting yang bisa kita mulai hari ini: jangan lagi menjalani hidup tanpa panduan. Pelan-pelan, tapi sungguh-sungguh, niatkan untuk menjadikan agama sebagai kompas.

Baca lagi Al-Qur’an meski satu halaman sehari. Dengarkan nasihat agama meski beberapa menit, tapi rutin. Perbaiki shalat sedikit demi sedikit. Dekat dengan lingkungan yang mengingatkan kepada Allah dan akhirat, bukan yang justru menjauhkan.

Hidup ini pada dasarnya sudah cukup berat dengan segala ujian dan pergolakannya. Jangan kita tambah berat dengan menjalaninya tanpa petunjuk dari Dzat yang menciptakan kehidupan itu sendiri. Karena pada akhirnya, yang membuat hidup benar-benar terasa ringan bukan sedikitnya masalah, melainkan seberapa kuat kita berpegang pada panduan-Nya.

🤲 Dukung Kaffah Media Bantu jaga dakwah dan konten ideologis tetap berjalan.
📡 Ikuti Saluran Kaffah Media Semua artikel baru & catatan ideologis langsung ke perangkatmu. Tanpa tergantung algoritma.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak